Mohon tunggu...
Sujono Dw
Sujono Dw Mohon Tunggu... Peternak - peternak dan petani

SMA Negeri I Rembang

Selanjutnya

Tutup

Money

Pemberitaan Media tentang Korupsi Pajak

3 Mei 2013   16:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:10 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tertangkapnya Pargono Riyadi oleh KPK bulan lalu ditanggapi beragam media masa, kebanyakan pemberitaan media terfokus pada tidak efektifnya reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal pajak (DJP) bahkan ada yang memberitakan belum berjalan. Hanya beberapa media yang memberitakan bahwa penangkapan tersebut karena sistem telah berjalan sehingga jika dijumpai penyimpangan akan ketahuan. Tak luput komentar yang sama oleh Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo berpendapat bahwa reformasi birokrasi di DJP perlu ditinjau ulang. Sebelum komentar Eko Prasojo  sebaiknya membaca laporan lebih detil tentang pelaksanaan reformasi birokrasi di DJP dan menanyakan langsung kepada Menteri Keuangan.

Apabila berbicara reformasi birokrasi DJP yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah kapan dimulainya. Inilah yang menjadi titik lemah pemberitaan, hanya sedikit media yang memahami. Selama ini seolah-olah reformasi birokrasi DJP dimulai sejak berdirinya DJP sehingga jika timbul penyimpangan media selalu mengaitkan reformasi birokrasi dan remunerasi. Jika tidak melihat kapan dimulainya maka ini merupakan penyesatan berita.

Reformasi birokrasi DJP dilakukan secara bertahap dimulai tahun 2002 sampai dengan akhir 2007. Tahun 2002 DJP membentuk kantor pelayanan pajak wajib pajak besar yang menangani wajib pajak dengan pembayaran pajak terbesar. Pada saat itu seluruh Indonesia hanya ada dua kantor dan  berkedudukan di Jakarta. Pegawai di kantor ini mulai mendapatkan remunerasi sedangkan kantor pajak lainnya belum menikmati.

Tahun 2005 DJP meneruskan reformasi dengan membentuk kantor pelayanan pajak madya di beberapa propinsi. Kantor ini menangani wajib pajak dengan pembayaran pajak menengah. Ditahun yang sama dibentuk kantor pelayanan pajak pratama hanya di Jakarta Pusat. Pegawai yang masuk kantor tersebut juga telah menikmati remunerasi. Terakhir Oktober 2007 DJP memodernisasi seluruh kantor pelayanan pajak di Indonesia dengan sebutan kantor pelayanan  pajak pratama. Kantor ini menangani wajib pajak selain yang ditangani kantor pelayanan pajak wajib pajak besar dan kantor pelayanan pajak madya. Mulai tahun ini pula seluruh pegawai DJP menikmati remunerasi.

Salah satu contoh penyesatan berita reformasi DJP adalah Tajuk Rencana Kompas, Sabtu 12 April 2012 halaman 6 yang berjudul Daftar Hitam Kian Panjang. Dalam ulasannya dikatakan bahwa penerima suap Bank Jabar, Gratifikasi Dhana widiyatmika, pencucian uang Bahasyim Assifie dilakukan ketika mereka telah menerima remunerasi dan bekerja di kantor pelayanan pajak yang telah menjalankan reformasi birokrasi. Padahal sesungguhnya tidak. Kasus Bank Jabar terjadi tahun 2001 dan 2002 di Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Bandung sedangkan kasus Dhana terjadi 2006 ketika tugas di Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Pancoran (Jaksel). Sementara kasus penyuapan Bahasyim terjadi 2005 dan tahun-tahun sebelumnya. Bahasyim kemudian ditugaskan di Bapenas tahun 2007 ketika DJP melakukan reformasi birokrasi seluruh kantor pajak yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Palmerah (Jakbar).

Tidak dipungkiri bahwa setelah reformasi birokrasi masih terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, Tommy Hendratno dan terakhir Pargono Riyadi. Sebetulnya kasus Gayus pun tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan dengan instansi di luar DJP yaitu Pengadilan Pajak. Pada saat itu Gayus adalah pegawai DJP yang ditugaskan menangani sengketa pajak di Pengadilan Pajak  tetapi dia menyalahgunakan wewenang. Di sinilah Gayus melakukan penyelewengan. Kasus murni penyelewengan yang dilakukan oknum pegawai pajak pasca reformasi birokrasi sejatinya adalah kasus Pargono Riyadi, Tommy Hendratno dan Gayus Tambunan. Pemberitaan media nampak jelas bahwa media belum memahami reformasi birokrasi DJP namun hal ini tak lepas karena Humas DJP belum efektik dalam menanggapi berita. Sebagai contoh pemberitaan Gayus, Humas DJP benar-benar seperti tidak ada. Ketika itu berita seperti bola liar sehingga siapapun boleh menendang sesukanya. Disamping itu media juga enggan mengakui keberhasilan reformasi DJP.

Berita media yang sering melecehkan instansi DJP dan pegawai tidak akan membuat goyah pegawai DJP dalam merealisasikan penerimaan negara. Mereka tidak peduli dengan kata-kata kotor sekalipun yang terlontar dari mulut para penyerang DJP. Jiwa reformasi terlanjur mengalir dalam darah pegawai DJP yang berintegritas tinggi. Hal ini terbukti hasil survey KPK nilai total integritas DJP 2011  mendapat angka 7,65 di atas rata-rata nilai seluruh instansi  6,4  maupun standar KPK  6 pada skala 1-10 dan sebelumnya  2010, DJP juga memperoleh nilai  inisiatif anti korupsi sebesar 9,73 dan promosi anti korupsi sebesar 9,82 dari lembaga yang sama.

Menanggapi Wamenpan dan RB berdasarkan penilaian KPK tersebut tidak perlu dilakukan evalusasi menyeluruh tetapi cukup yang belum efektif contohnya komunikasi eksternal DJP dan mempertajam pencegahan penyelewengan. Komuikasi eksternal sangat penting karena keberhasilan  reformasi agar diketahui masyarakat. Selama ini hanya masyarakat yang telah menjadi wajib pajak yang tahu karena mereka sering berhubungan dengan kantor pajak. Sementara masyarakat yang tidak pernah berhubungan dengan kantor pajak alias masyarakat yang belum menjadi wajib pajak hanya sedikit yang mengerti keberhasilan tersebut. Apalagi media cenderung tidak mau memberitakan keberhasilan pemerintah tetapi malah cenderung menjelek-jelekan pemerintah. Seharusnya media bersikap obyektif beritakan benar jika memang benar dan beritakan salah jika memang salah. Penerimaan pajak tidaklah melulu menjadi tanggung jawab DJP tetapi tanggung jawab semua komponen bangsa termasuk media. Pemerintah telah meletakkan pers pada tempat yang terhormat seharusnya mau membantu pemerintah. Contohnya membantu DJP dalam merealisasikan penerimaan pajak karena hasil penerimaan pajak ini akan digunakan sebagai penopang APBN. Contoh yang sangat nyata adalah subsidi BBM yang besarnya sekitar 300 trilyun dibayar dengan uang pajak. Hal ini harus diketahui masyarakat.

Sebenarnya pegawai DJP pun geram ketika masih ada oknum yang melakukan penyelewengan. Mereka menganggap sebagai pengkianat karena telah mengganggu pegawai yang telah bekerja dengan jiwa militan. Sedikit menyinggung remunerasi perlu diketahui Menpan dan RB bahwa besaran remunerasi yang diberikan pemerintah kepada pegawai DJP belum berubah sejak reformasi birokrasi terakhir 2007 dan hanya ada sedikit perubahan dari tahun 2002. Berbeda dengan gaji pegawai Bank Indonesia dan para hakim yang meminta kenaikan dan dikabulkan serta pegawai Pertamina yang gajinya besar tetapi minyak harus disubsidi. Padahal kita semua tahu bahwa krisis moneter yang menimpa Indonesia 2008 merupakan salah satu kegagalan Bank Indonesia sebagai pengawal moneter di Indonesia. Melihat kondisi ini apakah para wakil rakyat akan diam saja.

Oleh : Sujono - Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun