Kenaikan Nilai Jual Obyek Pajak 2014 di Jakarta sebesar 120 hingga 240 persen menuai ketidakpuasan masyarakat termasuk para pengembang. Mereka beralasan kenaikan tersebut menjadi beban masyarakat. Pengembang menganggap kenaikan NJOP berpengaruh terhadap kenaikan harga properti sementara masyarakat yang tidak mampu akan ketiban beban pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang tinggi. Apa sebenarnya NJOP itu. Sesuai Undang-undang no. 12 tahun 1985 sebegaimana telah diubah dengan Undang-undang no. 12 tahun 1994 tentang PBB pasal 1 angka 3, Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti. Dengan kata lain, NJOP dapat diartikan sebagai harga pasar.
Sejak PBB pedesaan dan perkotaan diambil alih pemerintah daerah sesuai dengan Undang-undang no. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 1 angka 40, devinisi NJOP sama dengan yang ada pada UU PBB. Jadi kedua undang-undang menyatakan bahwa seharusnya NJOP sama dengan harga pasar. Kenapa NJOP bisa naik tinggi. Hal ini karena NJOP tidak disesuaikan setiap tahun, seperti yang terjadi di Jakarta, NJOP terakhir, disesuaikan tiga tahun yang lalu. Kedua undang-undang di atas mengamanatkan bahwa NJOP harus disesuaikan setiap satu sampai tiga tahun sekali, sesuai dengan perkembangan wilayah. Untuk wilayah yang perkembangannya pesat NJOP disesuaikan setiap tahun dan untuk daerah yang perkembangannya sedang disesuaikan setiap dua atau tiga tahun. Untuk menghindari hal tersebut terhadap daerah yang perkembangannya pesat NJOP seharusnya  disesuaikan setiap tahun. Jakarta dan kota besar lainnya seperti Surabaya, Bandung dan Medan termasuk kota yang mengalami perkembangan pesat.
Besaran NJOP ini akan digunakan sebagai ; pertama, untuk penetapan besarnya PBB terhutang, pasal 6 ayat (1) UU PBB dan pasal 79 ayat (1) UU PDRD ; dasar pengenaan pajak adalah NJOP. Kedua, untuk pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan jika tidak di ketahui Nilai Perolehan Obyek Pajak nya, pasal 87 ayat (3) UU PDRD ; Jika Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP PBB. Sehingga kesesuaian besaran NJOP dengan harga pasar dapat meningkatkan penerimaan PBB dan BPHTB yang bermanfaat bagi pemda. Mengenai tarif UU PDRD pasal 80 ayat (1) ditetapkan paling tinggi 0,3 persen dan setiap daerah berhak untuk menetapkan tarif sendiri. Untuk Pemda DKI Jakarta sesuai dengan Perda No.16 Tahun 2012 tarif PBB ditetapkan secara progresif. Golongan I tarif 0,01 untuk obyek pajak yang NJOP nya kurang dari dua ratus juta, golongan II tarif 0,1 untuk obyek pajak yang NJOP nya dua tarus juta sampai dengan dua milyar, golongan III tarif 0,2 untuk obyek pajak yang NJOP nya dua milyar sampai dengan sepuluh milyar dan golongan IV untuk obyek pajak yang NJOP nya lebih dari 10 milyar.
Untuk mengetahui kebenaran NJOP wajib pajak dapat mengecek besaran NJOP yang tertera pada Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang dengan harga pasar yang ada di wilayah masing-masing. Jika tidak sesuai wajib pajak dapat mengajukan keberatan ke pemda setempat untuk PBB sektor pedesaan, perkotaan (P2) dan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk PBB sektor perkebunan, pertambangan dan perhutanan (P3). Sedangkan bagi wajib pajak yang tidak mampu membayar PBB dapat mengajukan pengurangan. Seperti pensiunan PNS/TNI/Polri, perusahaan yang bangkrut dan wajib pajak tidak mampu lainnya. Besarnya pengurangan PBB sektor P2 berbeda setiap wilayah tergantung pemda masing-masing dan untuk PBB sektor P3 setinggi-tingginya tujuh puluh lima persen.
Dalam perkembangannya NJOP mengalami pergeseran penggunaan misalnya sebagai dasar pembebasan tanah, untuk jual beli bahkan sebagai nilai agunan pada bank. Hal ini terjadi karena pemerintah hingga kini belum memiliki lembaga khusus yang menangani harga tanah, sementara satu-satunya harga tanah/bumi yang resmi dikeluarkan pemerintah hanyalah NJOP yang tertera pada SPPT PBB. Jadi kalau masyarakat menggunakan NJOP untuk keperluan lain juga tidak bisa disalahkan. Namun jika penetapan besarnya NJOP benar-benar sudah sesuai dengan harga pasar maka NJOP dapat digunakan untuk semua keperluan masyarakat yang menyangkut harga bumi dan bangunan.
Kendala memang terjadi ketika pemda maupun KPP dalam menetapkan NJOP karena kurangnya tenaga penilai PBB, terlebih pemda. Jumlah penilai PBB di setiap KPP tidak mencukupi untuk menyesuaikan NJOP seluruh obyek pajak sektor P3 sedangkan pemda yang memiliki tenaga penilai PBB hanya Pemda DKI Jakarta itu pun jauh dari mencukupi. Sebagai kesimpulan, NJOP dibentuk dari harga pasar bukan sebaliknya, berapapun harga transaksi yang terjadi di masyarakat maka akan menjadi patokan dalam menetapkan besaran NJOP.
Sujono,
Penilai PBB 1990 s/d 2006 Mudah-mudahan bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H