Pajak dan Capres
Debat calon presiden sudah dua kali berlangsung tetapi tak satupun capres menyebut sumber penerimaan negara yang berasal dari pajak. Mereka justru mengobral janji mengumbar pengeluaran negara serba gratis. Apakah kedua capres tidak memahami struktur APBN yang terdiri dari sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Dari sisi penerimaan jelas sekali bahwa APBN ditopang penerimaan pajak lebih dari 70 %. Sejak pemerintahan orde baru pajak telah menjadi sumber utama APBN jika tidak dikelola dengan baik hancurlah negeri ini. Dapat dibayangkan kalau pemerintah tidak dapat merawat dan menambah Infrastruktur, rumah sakit pemerintah tidak dapat melayani orang sakit, tidak ada dana untuk sekolah, tidak bisa membayar gaji pejabat negara, TNI, Polri, PNS. dan sebagainya.
Pajak yang dikelola oleh Direktorat Jenderal pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengalami masalah dalam pemungutannya, mulai dari minimnya kewenangan, sumber daya manusia dan anggaran. Tak pelak penerimaan pajak bulum optimal. Hal ini terbukti rendahnya tax ratio yang tidak beranjak dari angka 12 %, jauh lebih rendah dari negara-negara di asia tenggara. Singapura 22 %, Malaysia 20 %, Thailand 17 % dan Philipina 13 %. Tax ratio adalah perbandingan antara penerimaan pajak denganproduk domestik bruto. Sebagai gambaran PDB 2013 sebesar Rp. 9.084 triliun sedangkan penerimaan pajak Rp. 1.099,9 triliun. Seandainya pemerintah dapat meningkatkan tax ratio menjadi 15 % maka ada penambahan penerimaan pajak Rp. 272,52 triliun, jika disamakan dengan Thailand akan ada penambahan Rp. 454,2 triliun. Angka penerimaan sangat fantastis yang dapat dinikmati rakyat. Sangat disayangkan kedua capres tidak mengangkat issu ini. Pajak sebetulnya merupakan instrumen distribusi pendapatan dari orang kaya kepada masyarakat yang tidak mampu.
Tidak terlalu sulit untuk mewujudkan hal ini kalau pimpinan memiliki komitmen untuk rakyat. Tegakkan hukum tanpa pandang bulu, lantas buru para pengemplang pajak. Tidak asing di telinga kita bahwa masih banyak orang yang mampu di negeri ini tetapi tidak mau membayar pajak atau membayar pajak tetapi tidak yang sebenarnya. Tengok saja jumlah pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak hanya sekitar 25 juta orang. Kalau jumlah penduduk saat ini 244,8 juta, maka baru 10,21 % pemilik NPWP. Menurut Bank Dunia idealnya 25 % dari jumlah penduduk atau 61,2 juta. Ini baru wajib pajak orang pribadi sedangkan wajib pajak badan usaha pun masih banyak yang belum memiliki NPWP. Contonya usaha bidang pertambangan. Padahal usaha bidang tambang memiliki potensi pajak yang besar. Sungguh tidak adil jika mereka telah mengeruk kekayaan alam tetapi tidak mau membayar pajak.
Capres harus memiliki komitmen ini, gelorakan dalam kampanye kelompok mana yang belum bayar pajak dan janjikan kepada rakyat bahwa para pengemplang pajak tidak ada tempat lagi pada pemerintahan yang baru nanti. Minimal jadikan tax ratio kita sama dengan Thailand untuk dua tahun mendatang. Kalau capres tidak paham maka tim sukses harus memberitahukan. Tidak disinggungnya pajak malah menimbulkan pertanyaan besar, ada masalahkah dengan pajak ? tentu yang mengerti hanya capres dan DJP. Setuju dengan pendapat Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menantang capres dan cawapres untuk membuka surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunannya. Hal ini untuk menguji kejujuran sebagai warga negara tidak hanya saat ini tetapi termasuk masa lalunya. Pertanyaan lainnya, apakah pengurus partai pendukung juga mengalami hal yang sama. Capres dan para petinggi partai pendukung adalah calon penentu masa depan bangsa seyogiyanya mereka taat pajak. Tidak pantas bagi warga negara yang pernah melawan negara tetapi pada akhirnya menjadi pemimpin.
Belum terlambat, masih ada tiga kali lagi debat capres yang diselenggarakan KPU, jangan sia-siakan mengangkat masalah pengelolaan pajak dan janjikan kepada rakyat bahwa anda akan berbuat seadil-adilnya. Akan memungut pajak bagi orang kaya dan menggelontorkan penerimaan pajak untuk rakyat sebagaimana janji anda dalam kampaye.
Penulis : Sujono
Ditulis setelah debat capres kedua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H