“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
(QS. Ali Imran; 102)
***
BAHAGIA, siapa yang tidak ingin bahagia dalam hidup, setiap orang pasti berusaha untuk meraih kebahagiaan dalam hidupnya. Karena bahagia adalah saat hati merasakan ketenangan, ketentraman, kedamaian, kesejukan dan semua hal yang bisa membuat hati terasa tuma’ninah. Meskipun permasalahan atau problema dalam hidup selalu datang menyapa, tapi ketika hati bahagia, sesulit apapun problema itu akan dihadapi dengan kelapangan jiwa. Manusia di kehidupannya, selalu merindukan kebahagiaan, selalu mendambakan saat-saat bahagia. Sehingga, sering kita temui diantara mereka yang berusaha sekuat tenaga untuk meraih kebahagiaan. Segala cara mereka gunakan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menghalalkan segala cara untuk meraih bahagia ini.
BAHAGIA, bagi seorang muslim, bahagia itu ada dua macam. Bahagia di kehidupan dunia dan bahagia di kehidupan akhirat. Kebahagiaan dunia bisa dari segi materi, memiliki harta yang halal, memiliki keluarga sakinah, mawadah dan rahmah, memiliki keturunan yang sholeh, memiliki tetangga yang baik dan lain sebagainya. Sedangkan kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan hakiki yang didamba setiap muslim dan muslimah yaitu menjadi ahli surga dan bertemu dengan Rabbnya; Allah Ta’ala.
Tidak seperti pengikut hedonisme yang hanya menjadikan keni’matan materi adalah sebagai tujuan utama hidupnya dan menjadikan kebahagiaan hanya sebatas pada materi saja. Maka, seorang muslim seyogyanya tidak seperti mereka. Justru tujuan hidup utama adalah untuk meraih kebahagiaan akhirat, kebahagiaan yang tidak akan pernah usang, kebahagiaan yang kekal. Karena kebahagiaan materi adalah fana, mudah hilang dan usang seiring waktu yang berlalu.
Lalu Bagaimana Cara Meraih Kebahagiaan Itu..?
Berbagai cara manusia lakukan untuk meraih bahagia. Ada yang menghalalkan segala cara, kadang sampai menyikut hak kebahagiaan orang lain. Ada pula yang menerima apa adanya karena dengan begitu ia merasa bahagia. Ada yang membuat rumus bahagia seperti matematika dengan berbagai rumusnya. Atau seperti kimia dengan racikan ramuan-ramuan tertentu dan banyak lagi.
Sebagai muslim yang mengimani Allah Ta’ala, yakin bahwa Allah telah memberikan peutunjuk praktis didalam kitab-NYA; Al-Quran –sebagai pedoman kehidupan- bagaimana seharusnya cara meraih kebahagiaan yang benar dalam pandangan-NYA. Maka, kita akan dapatkan bahwa cara jitu untuk meraih bahagia yang benar adalah dengan TAQWA. Ya, Taqwalah cara tepat untuk meraih bahagia baik di dunia maupun di akhirat.
Maka, TAQWA sebagaimana yang dikatakan Al-Ghazali –semoga Allah merahmatinya- adalah;
“Harta simpanan yang berharga, jika anda memperolehnya maka berapa banyak anda akan mendapati permata yang mulia, kebaikan yang melimpah, rizqi yang baik, keberuntungan yang besar, harta yang meruah dan kerajaan yang agung padanya, seakan-akan semua kebaikan dunia dan akhirat terkumpul, berada di bawah naungan satu kebaikan ini, yaitu TAQWA. Perhatikanlah penyebutannya dalam al-Quran, berapa banyak Allah mengaitkannya dengan kebaikan, berapa banyak Allah janjikan atasnya dengan pahala dan balasan, berapa banyak Allah sandarkan kepadanya dengan kebahagiaan. (Minhaju al-‘Abidin, hal; 7)
Manusia bertaqwa, merekalah raja-raja dunia dan akhirat, merekalah pemilik kebahagiaan yang sejati dan kemuliaan yang agung di dunia juga di akhirat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala;
“Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha; 132)
“Dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Az-Zukhruf; 35)
Lalu, Apakah Makna Taqwa itu…?
TAQWA, secara makna lughowi adalah;
Ar-Rafi’I dalam bukunya al-Mishbah berkata; “Waqaahu Allahu as-suu’ wiqaayatan : hafizhahu” (Allah memelihara ia dari keburukan yaitu; Allah menjaganya). Sedangkan al-Wiqaa-u –seperti Kitaabun- adalah; segala hal yang engkau jaga dengannya dari sesuatu.
Sedangkan TAQWA secara makna Syar’i, maka pemaparan para ulama berbeda dalam mendevinisikan Taqwa akan tetapi semuanya bersinergi dalam satu pemahaman. Yaitu, seorang hamba menjaga dirinya dari murka Allah dan adzab-NYA, hal tersebut dengan melaksanalan segala hal yang diperintahkan dan menjauhi segala hal yang dilarang.
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata;
“Asal dari Taqwa adalah seorang hamba menjadikan antara ia dan antara yang dikhawatirkan dan diwaspadainya penjagaan yang menjaganya darinya. Maka taqwanya seorang hamba kepada Rabbnya adalah ia menjadikan penjagaan antara ia dan antara yang dikhawatirkannya dari murka, adzab dan siksaan Rabbnya, kehati-hatian yang menjaganya dari hal itu, yaitu dengan mengerjakan keta’atan dan menjauhi kema’siatan. Kadang kata “Taqwa” disandarkan kepada nama Allah Ta’ala. Apabila disandarkan kepada nama Allah maka artinya adalah; “Takutlah kamu akan murka dan azab-NYA”. kadang pula kata taqwa sering disandarkan kepada ‘iqob (siksaan) Allah, kepada neraka, atau juga kepada hari kiamat.
Dan termasuk dalam lingkup taqwa adalah mengerjakan segala kewajiban dan meninggalkan segala larangan, juga syubhat. Kadang juga termasuk dalam lingkupnya setelah itu adalah mengerjakan yang mandub (sunnah) dan meninggalkan yang makruh.
Ibnu Al-Qoyyim berkata;
“Hakikatnya, Taqwa itu adalah mengerjakan keta’atan kepada Allah karena iman dan mengharap pahala dari-NYA, baik berupa perintah maupun larangan.”
Maka, mengerjakan segala perintah Allah itu berlandaskan karena iman terhadap perintah-NYA, yakin akan janji-NYA. Dan meninggalkan segala larangan-NYA itu berdasarkan karena iman terhadap larangan-NYA, takut akan ancaman-NYA. Sebagaimana yang dikatakan oleh Thalaq bin Hubaib :
“Apabila fitnah menimpa, maka redamkanlah dengan Taqwa”. Mereka bertanya; ‘Apa taqwa itu?’. Ia menjawab; ‘Anda mengerjakan keta’atan kepada Allah atas dasar cahaya dari Allah, berharap pahala dari-NYA. Dan anda meninggalkan ma’siat atas dasar cahaya Allah, karena takut akan siksaan-NYA”.
Dan inilah sebaik-baiknya ucapan mengenai batasan taqwa. Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu mestilah memiliki prinsip dan tujuan. Maka suatu perbuatan itu tidak dikatakan ta’at atau bentuk qurbah sampai sumbernya itu adalah keimanan, motif dari perbuatan itu haruslah bersumber dari keimanan yang murni, bukan adat, hawa nafsu, bukan pula untuk mencari sanjungan, kekuasaan dan lain sebagainya. Tetapi, yang menjadi prinsip dari perbuatan itu haruslah kemurnian iman, sedangkan yang menjadi tujuannya adalah mengharap pahala dan ridho Allah Ta’ala.
Al-‘Allamah Nu’man bin Mahmud Al-Alusy berkata;
“Taqwa adalah Mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala larangan”.
Taqwa itu memiliki tingkatan;
Pertama; Rasa takut akan azab yang kekal dengan berlepas diri dari kesyirikan.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala; “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa[1404] dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-fath; 26)
Kedua; Menjauhi segala perbuatan dosa, baik dosa besar ataupun dosa kecil. Itulah yang dikenal dengan taqwa secara Syar’i, itu juga adalah makna dari Firman Allah Ta’ala; “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,…” (QS. Al-A’raf : 96) dan ini juga makna dari perkataan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz : “Taqwa adalah meninggalkan apa yang Allah haramkan dan melaksankan semua yang Allah wajibkan. Maka apa-apa yang Allah rizqikan setelah itu, itu adalah kebaikan untuk kebaikan.”
Ketiga; mensucikan diri terhadap hal yang menyibukkan bathinnya dari Allah Ta’ala. Inilah hakikat Taqwa yang dimaksud dalam firman-NYA; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran; 102). Ibnu Umar berkata; ‘Tidakkah kau perhatikan dirimu lebih baik dari orang lain?’.
Al-Ghazali –semoga Allah merahmatinya- berkata;
“Ketauhilah –semoga Allah memberikan berkah terhadap agamamu dan memperkuat keyakinanmu- bahwasanya Taqwa menurut Guru kami adalah; ‘Mensucikan hati dari dosa yang tidak didahului semisalnya, sampai mendapatkan kekuatan tekad untuk meninggalkannya sebagai penjagaan antara diri dan perbuatan ma’siat. Oleh karena itu, jika tercapai penjagaan antara hamba dan perbuatan ma’siat dari kekuatan tekadnya untuk meninggalkan maksiat itu dan ketetapan hatinya atas hal itu maka ia tersipati bahwa ia seorang muttaqi (yang menjaga), sedangkan pensucian, tekad dan penetapan itu adalah Taqwa.”
Di dalam al-Quran kata Taqwa digunakan pada tiga hal;
Pertama; Memiliki makna al-khasyyah dan al-haibah (takut). Kedua; Bermakna Ta’at dan Ibadah. Dan Ketiga; Bermakna Pensucian hati dari perbuatan dosa, dan inilah hakikat Taqwa selain yang kedua pertama. Perhatikan Firman Allah berikut;
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan”. (QS. An-Nur; 52)
Dimana Allah menyebutkan pada ayat diatas Ta’at dan Takut kemudian menyebutkan kata Taqwa, oleh itulah dapat diketahui bahwa hakikat taqwa itu adalah makna selain ta’at dan takut yaitu pensucian hati dari perbuatan dosa. Kemudian mereka mengatakan; Tempat Taqwa itu ada tida; Taqwa dari perbuatan Syirik, Taqwa dari perbuatan Bid’ah, dan Taqwa dari perbuatan Maksiat.
Allah berfirman; “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maidah ; 93)
Taqwa yang pertama adalah memelihara diri dari syirik, sedangkan keimanan yang menjadi lawannya adalah Tauhid. Taqwa yang kedua adalah memelihara diri dari bid’ah dan keimanan yang disebutkan bersamanya adalah penetapan sunnah dan jama’ah. Sedangkan Taqwa yang ketiga adalah memelihara diri dari perbuatan maksiat dan lawannya adalah ihsan.
Dalam sebuah riwayat dalam khabar masyhur, Rosulullah Bersabda; “Hanya saja dinamai orang-orang yang bertaqwa itu dengan Muttaquun karena mereka meninggalkan sesuatu yang tidak apa-apa karena kehati-hatian terdapat apa-apa padanya”.
Abu Hurairah pernah ditanya oleh seseorang tentang taqwa lalu ia kembali bertanya kepada orang tersebut; ‘Pernahkah kamu melewati jalan yang berduri?’, Ia menjawab; ‘iya, pernah’. Abu Hurairah kembali bertanya; ‘Apa yang kau lakukan?’. Ia menjawab; ‘Apabila saya melihat ada duri, saya segera menjauhinya atau melangkahinya atau membuangnya’. Abu hurairah berkata; ‘Itulah Taqwa’.”
Inilah makna taqwa menurut para Ulama, begitu luas makna taqwa ini, begitu dalam makna yang terkandung pada kata Taqwa ini. Sehingga siapa saja yang memahami makna taqwa ini kemudian ia menjadikannya sebagai pakaian dirinya terlebih lagi membekali dirinya dengan taqwa ini, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Inilah hakikat taqwa, memelihara dan mensucikan hati dari segala bentuk perbuatan dosa. Kemudian bersungguh-sungguh dalam menjalankan keta’atan dan ibadah baik yang wajib maupun yang sunnah. Dengan demikian Allah pun akan memberikan kebahagiaan yang berlipat kepada hamba-Nya yang bertaqwa.
Jika kita terapkan taqwa dalam kehidupan dunia kita. Terlebih lagi untuk mencapai kebahagiaan, maka taqwa adalah cara jitu dan ampuh untuk meraih bahagia. Bagaimana tidak, kesucian diri, kebersihan hati adalah sumber utama dalam menggapai bahagia. Dan Taqwa hakikatnya adalah membersihkan hati dari segala hal yang akan mengotorinya. Dengan demikian bahagia akan menjelma kepada mereka yang membersihkan hatinya. Bukan dengan menghalalkan segala cara, atau dengan mengambil yang bukan menjadi haknya.
Oleh karena itulah, meraih bahagia yang paling sempurna adalah dengan Taqwa kepada Allah Rabb Semesta. Bukan hanya kebahagiaan dunia yang akan diraih, tetapi juga Allah menjanjikan kebahgiaan akhirat dengan pesona surga yang indah dan pertemuan dengan-NYA kelak.
Maka, pakailah pakaian Taqwa, bekali diri dengan sebaiknya bekal, yaitu taqwa. Bersihkan diri dari segala hal yang akan mengotorinya jika bahagia ingin dirasa. Semoga kita menjadi hamba Allah yang bertaqwa. Amin.
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan”. (QS. An-Nur; 52)
*Di depan layar Imaji_Menyelami makna TAQWA di indahnya hari yang cerah Bumi Seribu Menara*
Sumber; TAQWA, Dr. Ahmad Fariid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H