Oleh: Akhmad Sujadi
Sejak dilantik menjadi Presiden pada 20 Oktober 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) terus berbenah untuk mewujudkan janji kampanye Pilpres 9 Juli 2014. Diawali dengan seleksi para calon menteri yang bekerja sama dengan lembanga anti korupsi, KPK dan PPATK untuk mengecek kekayaan, sumber kekayaan para calon pejabat negara.
KPK dan PPATK sebagai filter pertama untuk mencegah korupsi dan mewujudkan para menteri sebagai pembantu presiden harus bersih. Kurang dari  seratus orang yang dinominasikan menjadi kandidat menteri, 80 % lolos. Namun  dari penyaringan yang disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan, kredibilitas dan kapasitas calon menteri, terpilih 34 orang dari berbagai latar belakang  profesi. Ada pengusaha, politisi, profesional dan beberapa Dirut BUMN berprestasi.
Sambil memperkenalkan para calon menteri, Presiden Jokowi mewajibkan para calon menteri menggunakan seragam baju putih lengan panjang dan digulung stengah lengan. Konon model busana sperti ini menunjukkan budaya kerja. Mungkin Presiden Jokowi merujuk pada dirinya ketika menjabat Gubernur  DKI Jakarta, setiap blusukan ke kawasan kumuh  menggunakan pakaian khasnya,  putih dan menggulung setengah lengan.
Kemudian ketika Presiden mulai memanggil para menteri satu persatu, ada budaya baru di lingkungan lembaga kepresidenan. Para menteri yang sudah menunggu giliran dipanggil, ketika namanya dikumandangkan harus  berlari kecil ketika menuju tempat berbaris di samping Presdien Jokowi dan wapres JK. Model lari juga budaya baru dalam tatanan pemerintahan dan tatanan istana. Bahkan presiden kadang mengajak lari calon menteri yang hanya berjalan cepat. Saat pembacaan pengumuman calon menteri, Presiden Jokowi  tidak hanya membaca, namun  seperti master of seremony (MC) suatu acara pertandingan,  Presiden Jokowi ikut menyemangati.
Pemilihan calon menteri yang melibatkan lembaga anti rasuah, KPK dan PPATK, baju putih digulung setengah lengan, pemanggilan para menteri dan ajakan berlari merupakan simbol dari revolusi mental. Suatu perubahan sikap dari semula para pejabat dilayani, pada kabinet Jokowi-JK pejabat harus melayani rakyat. Kabinet  yang menamakan diri sebagai Kabinet Kerja, merupakan bentuk revolusi mental, Service Leadership, pemimpin yang melayani.
Revolusi mental yang dilontarkan Jokowi saat debat calon presiden semula sulit dijabarkan. Namun acap kali lontaran pemimpin dunia sering tersamar dan baru dapat diketahui maknanya saat diimplementasikan dilapangan dalam praktek di pemerintahan, organisasi,  perusahaan swasta dan perusahaan  BUMN.
Ketika mendenar calon  Presiden  Jokowi menyampaikan revolusi mental pada kampanye Pilpres,  penulis mencoba mencerna makna dan arti revolusi mental sesungguhnya. Penulis lalu memposting di media tercinta Kompasiana berjudul "Revolusi Mental Mungkinkah KAI Sebagai Rujukan," nampaknya apa yang penulis prediksi sebelumnya  ada benarnya. Revolusi mental harus dimulai dari Lembaga kepresidenan, instansi pemerintah, BUMN dan akan merambah ke Pemerintah  propinsi, Kabupaten dan Kota.
Revolusi mental bukan dimulai dari sekolah dari TK, SD hingga perguruan tinggi. Revolusi  mental memang harus dimulai dari atas ke bawah, dari Presiden, para menteri, gubernur, wali kota, bupati dan para perangkat di bawah yang umumnya pegawai negeri, pegawai BUMN. Merekalah yang perlu direvolusi mentalnya untuk memperbaiki kinerja pelayanan kepada rakyat yang selama ini belum merasakan pelayanan yang sesungguhnya dari abdi negara.
Sesungguhnya Revolusi mental itu bukan untuk rakyat kebanyakan, apalagi rakyat jelata. Mereka akan menurut apa yang pamong (pemerintah) berikan kepada rakyatnya. Rakyat adalah penikmat bukan pelaku revolusi mental. Untuk memberikan pelayanan kepada rakyat, pada masa lalu para pelakunya masih bermental birokrat, mental dilayani. Untuk memperbaiki hal itu, Presiden Jokowi yang memulai karier di pemerintahan dimulai dari bawah, Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta tentu memiliki pengalaman dibidang pelayanan kepada masyarakat.
Pengalaman Presiden Jokowi sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta ini menjadi modal ketika menjabat sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia. Untuk mewujudkan revolusi mental, pengalaman Presiden Jokowi yang dikolaborasikan dengan komposisi kabinet  yang lebih banyak diisi profesional ini diharapkan mampu menjabarkan revolusi mental yang digagasnya saat kampanye.