[caption id="attachment_365116" align="aligncenter" width="334" caption="Tanaman sayuran yang bisa ditanam di pinggir rel (foto; d-onenews.com)"][/caption]
Oleh; Akhmad Sujadi
​Ketika masih sekolah Pak Guru menerangkan bahwa negara kita termasuk negara agraris. Negara yang menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam sebagai mata pencaharian utama negeri ini. Sebagai negara agraris dengan penduduk lebih dari 254 juta jiwa, seharusnya kebutuhan pangan dapat dipenuhi sepenuhnya dari negeri sendiri, tidak perlu impor beras, kedelai, jagung, garam dan kebutuhan pangan lainnya.
​Karena tidak konsisten menjadi negara agraris, banyak produk pangan negeri ini diserang dari negara luar. Contohnya buah. Masyarakat kita lebih seneng dengan buah jeruk impor dari Cina, Taiwan. Durian dari Thailand. Apel dari Amerika. Secara fisik produk buah dalam negeri kalah penampilan dengan buah impor. Rakyat kita lebih senang buah yang gede-gede dan menarik. Buah negeri sendiri dipinggirkan.
​Beruntung negeri kita tidak impor sayuran. Andaikan negeri kita impor sayuran, matilah petani kita. Sebagai negeri yang telah memproklamirkan diri agraris, seharusnya pemerintah konsisten basik pertanian dijaga. Cara intensifikasi pertanian terus digenjot agar dapat menghasilkan produk pertanian bermutu, berkwalitas baik. Sehingga produk pertanian kita dapat bersaing, khususnya buah-buahan dengan produk asing yang telah membanjiri negara kita.
Delimatis, negara agraris namun lahan persawahan makin sempit karena alih fungsi lahan terus terjadi untuk pembangunan Mall, perumahan, perkantoran industri dan berbagai fasiliatas lainya. Makin sempitnya lahan pertanian jangan menyurutkan kita untuk menjadi negara agraris. Pulau-pulau di luar Jawa banyak tak berpenghuni, terutama di Indonesia Timur. Program transmigrasi yang pada masa orde baru berjalan baik, pada masa reformasi malah mandek.
Orang Jawa terkenal ulet, tangguh dalam bertani. Lahan di Sumatera terbuka dan memberikan kemakmuran karena kedatangan orang-orang Jawa yang bertransmigrasi dari Jawa. Mereka gigih membuka lahan, mengolah dan meghasilkan berbagai produk pertanian. Saudara-saudara kita banyak yang berhasil di daerah transmigrasi. Mereka pahlawan bangsa sejati karena dapat menyediakan pangan untuk negeri.
Makin susutnya lahan pertanian , khsusnya di Jawa baik di kota maupun di desa jangan menyurutkan kita untuk berhenti memproduksi pangan. Kita harus bersemangat, jeli dan mampu memanfaatkan setiap jengkal lahan pekarang ruamh kita, lingkungan kita untuk dapat menjadi media tanam yang cocok dengan lingkungan. Contohnya aneka sayuran yang tidak memerlukan lahan yang luas.
Media tanam untuk sayuran aneka macam. Lahan kecil tidak luas di pinggir rel, dekat persawahan pun dapat dimanfaatkan untuk bercocok tanam sayuran. Warga pinggir rel yang peduli pangan memanfaatkan sedikit lahan perkeretaapian untuk ditanami aneka jenis sayuran, seperti bayam,cabe, sawi, dan tanaman sayuran jenis pendek yang mudah tumbuh di lahan sekitar rel.
Sadali seorang warga Rawa Buaya memanfaatkan lahan pinggir rel yang bersebelahan dengan sungai kecil. Meskipun airnya keruh karena menjadi tempat membuang limbah rumah tangga, Sadali tekun dan tidak jijik dengan air limbah yang menghitam dan bau. Dengan memanfaatkan lahan pinggir rel Sadali bisa hidup dan menghidupi keluarganya di Jakarta.
Kesehariannya, Sadali aktif di kebun pinggir rel. Menanam, merawat tanaman dan setiap dua minggu panen sayuran. Menjadi petani pinggir rel juga menjadi pahlawan pangan negeri ini. Sudah semakin langka pemuda sadar pangan dan sadar menanam di negeri ini. Ingat, pangan adalah kebutuhan utama kita. Pemerintah harus didepan agar dapat menggerakkan pemuda sadar pangan, dan menarik minat pemuda menekuninya. Salam Indonesia. ###