Hidup di pinggiran rel kereta api (KA) di Jakarta menjadi pilahan warga sejak 1957 silam. Keberadaan mereka tumbuh diawali ketika terjadi urbanisasi secara berkelompok kecil sebagai kuli atau tukang pada proyek-proyek pembangunan sejak tempo dulu. Mereka memilih pinggir rel karena tidak disediakan tempat oleh pemberi kerja. Â Tahun demi tahun hunian di pinggir rel KA terus bertambah dan hingga saat masih bertahan, meskipun PT. KAI sebagai penguasa lahan telah berulang kali menertibkan hunian di pinggir rel.
Warga yang tinggal di pinggir rel dari berbagai daerah di Pulau Jawa, Sumatera bahkan ada pula yang dari NTB. Keberadaan mereka cukup beragam, ada yang tinggal sejak 1957 atau 12 tahun setelah Indonesia merdeka. Saat itu lahan di pinggir rel sangat luas dan seolah tak bertuan. Mula-mula mereka mendirikan rumah kardus dan triplek sisa pekerjaan proyek. Kehadiran mereka pada waktu itu dibiarkan dan pada  akhirnya mereka ada yang berani mendidirkan rumah tembok.
Kaum uraban yang lebih dulu datang menjadi tokoh warga dan beberapa diantara mereka menjadi penguasa lahan. Mereka berani membuat kontrakan-kontrakan dengan harga murah, terjangkau dengan konsumen kaum buruh kasar, pekerja serabutan, pedagang kecil, sopir, wiraswasta hingga tukang bajaj, karyawan swasta dan Satpam. Mereka umumnya bekerja di sektor informal.
Struktur sosial masyarakat terbangun atas dasar lamanya tinggal dan keberanian di masyarakat. Mereka yang telah lama tinggal memiliki keberanian  dan seringkali dijadikan tokoh masyarakat atau yang dituakan. Kalau ada rencana penertiban, mereka yang akan maju menyusun kekuatan untuk negosiasi bahkan kalau perlu mengkordinir  penolakan penertiban. Mereka menjadi tokoh kunci di masyarakt pinggir rel.
Faktor keberanian merupakan modal dasar bagi seseorang yang akan tinggal di tanah yang bukan miliknya. Orang yang ditokohkan atau paling berpngaruh di lingkungan tersebut akan  banyak diikuti oleh warga asal daerahnya dan cenderung dijadikan tokoh atau pemimpin informal di daerah pinggir rel.
Tinggal di pinggir rel kini masih menyisakan kemiskinan dan belum diberesi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara tuntas. Mereka belum mendapatkan perhatian dan mendapatkan rumah susun. Penghuni rumah susun belum menyentuh warga pinggir rel, Â ini terbukti masih maraknya penghuni di pinggi rel hampir di jalur lingkar Jakarta, di lintas Tanah Abang -- Palmerah hingga Kebayoran di beberapa titik masih ditumbuhi bangunan liar di pinggir rel.
Hunian di pinggir rel yang telah menaun bukan hanya membahayakan bagi mereka, namun juga membahayakan bagi perjalanan KA yang mengangkut ribuan nyawa. Hunian pinggir rel yang terlalu menjorok ke dalam rel, sebelum diterbitkan oleh PT. KAI dan dilakukan pemagaran oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, jarak bodi kereta dengan atap rumah sekitar 20 cm saja. Tentu membahayakan bagi KA dan warga. Secara berangsur sebagain hunian sudah berhasil ditertibkan dan tertata rapi. Namun PR masih menyisakan di beberapa wilayah dan perlu diselesaikan bersama.
Bangunan rumah-rumah petak  di pinggir rel jelas tidak layak huni. Ketika KA lewat, debu-debu akan beterbangan. Rumah yang sempit sulit untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada penghuninya. Rumah yang kumuh ada dua kemungkinan, mereka takut membangun permanen karena sewaktu-waktu akan digusur dan kedua memang tidak mempu membangun rumah karena tidak punya lahan dan uang. Hunian pinggir rel terasa lebih nyaman ketika ada sumber penghidupan bagi keluarga.  Desa terasa tidak nyaman manakali tidak ada sumber penghidupan untuk menafkahi keluarga. Mari kita pikirkan warga pinggir rel menuju Indonesia lebih baik. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H