Mohon tunggu...
Akhmad Sujadi
Akhmad Sujadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Enterpreneur

Entepreneur

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Single Operation dan Loop Line KRL Bikin Pusing

3 September 2014   12:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:45 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh; Akhmad Sujadi

Pengguna KRL kini terbiasa transit di beberapa stasiun. Penumpang juga menikmati KRL Commuter Line (CL) sebagai peleburan KRL Ekspres, Ekonomi AC dan KRL Ekonomi panas. Proses menuju pola operasi itu sempat bikin pusing penumpang.

[caption id="attachment_356931" align="aligncenter" width="300" caption="Kondisi penumpang KRL transit di stasiun Duri (foto:Yos Asmat)"][/caption]

KRL Jabodetabek tidak dirancang khusus sebagai transportasi massal perkotaan yang dipersiapkan sedemikian rupa sesuai kebutuhan angkutan masa kini.Ketika merancang MRT di DKI, telah diprediksi berapa penumpang yang akan diangkut, berapa stasiun yang perlu dibangun, head way atau jarak antar kereta,jumlah armada serta berbagai fasilitas pendukungnya yang modern dan mencukupi sesuai prediksi.

Sejarah pembangunan KRL Jabodetabek sangat berbeda jauh dengan MRT di DKI. KRL Jabotabek dibangun dengan tambal sulam penuh tantangan dan berisiko agar KRL representatif, sesuai harapan penumpang. Untuk menuju pelayanan yang tertib saja sulit karena budaya penumpang KRL telah mengakar mengikuti sistem pelayanan transportasi KRL yang telah menahun dan belum terwujud transportasi KRL yang tertib, aman dan nyaman.

Berbeda dengan MRT yang masih dalam proses pembangunan, transportasi masa depan di DKI itu dirancang sangat baik. Jaringan relnya streril, stasiun dirancang modern, bagus dan terintegrasi dengan moda lain seperti busway, stasiun KA, bus dan memudahkan orang untuk berpindah moda. Selain itu armada yang cukup dengan head way terencana juga disusunsebelum dioperasikan. Jadi sangat berbeda dengan KRL Jabodetabek yang pembenahannya bertahap, baik pengadaan armada maupun pembangunan infrastruktur lainnya.

Makin bertambahnya armada KRL ber-AC meskipunjumlahnya belum signifikan, pada era 2005telah mendorong kebijakan baru. PT. KAI mulai merambah dan menambah kelas KRL Ekspres Pakuan dan KRL Ekspres pada koridor lainnya. Hampir semua koridor di kantong penumpang ada pemberangkatan KRL Ekspres. KeunggulanKRL Ekspres iniselain keretanya ber-AC, KRL jenis ini tidak berhenti di setiap stasiun. KRL Ekspres hanya berhenti di beberapa stasiun tempat kantong-kantong penumpang.

Karena KRL ekspres tidak berhenti di setiap stasiun, maka secara operasional KRL ini harus menyusul KRL Ekonomi yang berhenti di setiap stasiun. Tempat penyusulan KRL juga terbatas hanya bisa dilakukan di stasiun yang memiliki jalur lebih dari 1 spoor. Untuk lintas Bogor stasiun yang dapat melayani penyusulan hanya Stasiun Depok, Pasarminggu dan Manggarai.Karena susul-menyusul ini, perjalanan KRL riskan terhadap keselamatan operasi KA. “Pola operasi KRL dengan adanya perjalanan KRL ekspres dan KRL ekonomi yang berhenti di setiap stasiun telah menimbulkan kecelakaan beberapa kali.”

Umumnya kecelakaanterjadi ketika KRL Ekspres menabrak KRLekonomi dari belakang atau lebih dikenal dengan sodomi. Kejadian di Pasarminggu, Bogor, Manggarai, Sawahbesar merupakan dampak dari sistemmulti operasi KRL Jabodetabek. Setidaknya ada 3 kali kejadian sodomi yang cukup besar, Peristiwa Pasarminggu, Manggarai dan Bogor, yang sempat membuat beberapa penumpang terluka dan KRL rusak parah.

Karena armada KRL AC terus bertambah, sementara segmen pasar di KRL Ekspres sudah jenuh, sedangkan peminat KRL ber-AC tidak hanya dari stasiun tertentu, PT. KAI meluncurkan produk baru KRL Ekonomi-AC. Produk KRL Ekonomi AC ini berbeda dengan KRL Ekspres AC yang tidak berhenti setiap stasiun. Dari segi armada, KRL Ekonomi AC dengan KRL Ekspressama-sama ber-AC. Namun dari segi tempat pemberhentian dan tarifnya yang berbeda.KRL Ekonomi-AC berhenti setiap stasiun, sedangkan KRL Ekspres berjalan langsung.

Selain berfasilitas AC, waktu tempuh KRL Ekspres lebih singkat, sehingga peminatnya juga cukup banyak. Sedangkanpeluncuran produk baru KRL Ekonomi AC yang tarifnya lebih murah dan mudah diakses dari semua stasiun, makin hari peminatnya terus bertambah. “Produk KRL Ekonomi ACjuga diminati pelanggan karena harganya miring dibanding KRL Ekspres AC. Karena berhenti di setiap stasiun maka mudah diakses, penumpang dapat naik dari semua stasiun karena KRL Ekonomi AC berhenti di setiap stasiun.”

Dengan dioperasikanya KRL Ekonomi AC, maka di Jabodetabek ada tigakelas pelayananKRL yang makin hari makin mempersulit sistem operasi KA. KRL Ekspres AC – merupakan KRL kelas premium yang tidak berhenti di setiap stasiun, waktu tempuhnya lebih singkat. KRL Ekonomi AC-menempati urutan keduayang berhenti di setiap stasiun, waktu tempuhnya hampir sama dengan KRL Ekonomi non AC. Berikutnya KRL Ekonomi nonAC (Ekonomi panas) dan berhenti setiap stasiun.

Keterbatasan jaringan telah menyulitkan pengaturan operasi KA, pelayanan dan berbagai ketidaktertiban, telah mendorong PT. KAI mulai berpikir untuk mengubah kelas layanan KRL. Pada tahap awal PT. KAI melakukan perubahan sistem operasi. Semula ada tiga kelas diubah, khususnya untuk KRL AC. “PT. KAI berkeinginan hanya ada satu jenis layanan. Semua KRL ber-AC dan berhenti di setiap stasiun, namun situasi dan kondisi belum memungkinkan, masih banyak pertimbangan yang harus diperhatikan, salah satunya kemampuan bayar para penumpang kelas ekonomi. Karena itu PT. KAI harus bersabar dalam melakukan perubahan.”

Dengan perubahan pola operasi KRL dari multi operasi ke single operasi,maka produk KRL Ekspres dan KRL Ekonomi AC harus dilebur menjadi satu produk. PT. KAI mengubah kelas KRL Ekspres –AC dan Ekonomi AC menjadi KRL Commuter line (CL) dengan rangkaian KRL AC dan berhenti di setiap stasiun. “Untuk pelayanan KRL ber-AC diubah dari ekonomi AC dan Eskpres AC, dilebur menjadi KRL Commuter Line (CL). KRL CL inilah yang nantinya akan menjadi cikal bakal menuju sistem layanan satu kelas KRL.”

Perubahan sistem operasi KRL tidak semulus rencana. Setiap perubahan kebijakan pastiada yang menentang. Demikian juga perubahan sistem operasiKRL dari sistem multi operasi menjadi single operasi juga mendapat reaksi keras, terutama dari para pengguna KRL Ekspres. Meskipun harganya turun, mereka tidak setuju. Para pengguna KRL kelas premium ini protes karena waktu tempuhnya bertambah dan harus bercampur dengan aneka golongan pekerja yang beraneka ragam.

Para pengguna KRL Ekspres AC yang selama ini sudah nyaman sulit berubah dengan pola baru. Penumpang KRL Ekspres enggan bercampur dengan mereka yang biasanya menggunakan KRL Ekonomi AC dan KRL Ekonomi, mereka enggan bercampur dengan semua lapisan masyarakat. Namun demikian penolakan dan protes tersebut tidak dikabulkan. PT. KAI tetap pada pendirian, mengubah pola operasi KRL dari multi operasi menjadi single operasi.

Sedangkan pengguna KRL Ekonomi AC juga protes karena tarif yang biasanya lebih murah menjadi lebih tinggi karena selain mengubah pola operasi, PT. KAI juga mengubah formula tarif KRL. Penumpang KRL Jabodetabek sensitif terhadap layanan, kelas, dan tarif. Hal yang paling sensitif dalam layanan KRL adalah ketepatan waktu dan tarif yang sering membuat pusing operator dalam mengambil kebijakan.

Perubahan pola operasi dari multi kelas menjadi satu kelas adalah hal berisiko. Direksi tetap menjalankannya. Dukungan jajaran Kamtib internal dan eksternal memiliki andil besar dalam suksesnya keberhasilan perubahan Single Operasi padaJuni 2011. Kehebatan Direksi era Jonan adalah berani mengambil risiko, meskipun dihujat, dicaci-maki, kalau itu untuk perbaikan layanan keputusan segara diambil dan dijalankan. Inilah Direksi petarung yang dibutuhkan dalam perbaikan pelayanan.

Meskipun bagian kamtib telah berusaha maksimal, toh masih kecolongan juga. Protes para penumpang KRL Ekonomi yang KRL-nyalebih jarang dibanding KRL CL, telah membuat marah penumpang KRL Ekonomi. Para penumpang yang telah menunggu KRL Ekonomi cukup lama di Stasiun Jakartakota marah. Karena yang masuk KRL CL terus.

Kemarahan mereka dilampiaskan dengan merusak KRL CL yang masuk di jalur XII. Peristiwa ini membuat gaduh pelayanan KRL. Beruntung setelah beberapa kali diintai, para provokator perusakan KRL iniberhasil ditangkap Polsuska Daop 1 dan berhasil membawa para pelaku ke meja hijau dan mereka mendapat hukuman setimpal.

Perubahan Pola Operasi Loop Line

Perubahan pola operasimulti operation menjadi single operation hanyalah pemanasan menuju perubahan pola operasi KRL yang lebih berisiko, yaitu perubahan operasi “Pola Loop Line”. Perubahan operasi pola loop line sangat berbeda dengan pola operasi single operation yang telah sukses masa transisinya pada Juni 2011.

Pada pola operasi Single Operation para penumpang KRL masih dimanjakan sejak dari naik hingga turun dari KA di stasiun tujuan. Penumpang tidak perlu berganti KRL di stasiun transit, karena pada pola operasi sebelumnya para penumpangKRL masih dijemput dandiantar oleh KRL dari stasiun pemberangkatan hingga stasiun tujuan.

Sebagai contoh, KRL dari Tangerang ke Jakartakota atau sebaliknya, KRL harus langsir di Stasiun Kampungbandan. Masinis harus pindah kemudi dan memerlukan waktu untuk manuver masinis. Selain itu kondisi emplasemen Kampungbandan untuk menuju Stasiun Jakartakota harus masuk di jalur III yang spoornya pendek dan hanya mampu menampung beberapa kereta, maka KRL dari Tangerang ke Jakartakota rangkaiannya tidak bisa maksimal, hanya 6 kereta, padahal idealnya minimal 8 kereta untuk saat ini.

Kemudian KRL dari Serpong ke Sudirman, di Stasiun Tanahabang KRL ini harus berbalik kabin, masinis pindah kemudi. Selain itukarena Stasiun Sudirman bukan stasiun R-19 yang memiliki jalur untuk berbalik arah,maka KRL ini harus sampai di Stasiun Manggarai hanya untuk sekedar berbalik arah. Padahal tujuan utamanya adalah Stasiun Sudirman. Dengan demikian, maka secara operasional telah terjadi pemborosan listrik karena harus menambah jarak yang lebih jauh.

Pola operasi ini tentumenyulitkan operator karena dalam operasi KRL berisiko tinggi, karena setiap gerakan KRL berisiko. Sebagai contoh ketika memasuki Stasiun Kampungbandan, Tanahabang atau Manggarai KRL tersebut akan menyekat beberapa wesel (alat pemindah jalur untuk mengarahkan KA di stasiun) dan mengunci jalur KA, sehingga secara operasional pola operasi sebelumnya yang mengharuskan KRL dari stasiun awal sampai stasiun akhir pola operasinya berisiko dan tidak efisien.

Hasil pemikiran Tim PT. KAI pola operasi KRL Jabodetabek harus dilakukan perubahan, dari pola lama ke pola baru dengan pola operasi loop line, sehingga kapasitas angkut bertambah, operasi KAlebih aman, rangkaian KRL dapat maksimal, dapat meningkatkan kapasitas lintas yang pada akhirnya dapat menambah perjalanan dan pelayanan KRL.

Dengan keberanian melakukan perubahan pola operasi, maka PT. KAI telah bersiap mengambil risiko dan siap akan diprotes para pengguna jasa pada masa transisi.

Perubahan pola operasi pola loop line akan mengubah trayek yang semula ada 37 stasiun tujuan dapat dipersingkat menjadi 7 trayek. Semula trayeknya dari Stasiun Bogor, Bojonggede, Depok, ke Jakartakota dan Tanahabang atau sebaliknya penumpang bisa langsung tanpa turun untuk transit dan berpindah. Kemudian penumpang dari Bekasi dapat langsung ke Tanahabang dan Jakartakota baik lewat Manggarai maupun Pasarsenen.

Demikian pula penumpang dari Serpong dan Tangerang yang semula bisa langsung menuju Sudirman tanpa turun dan berganti KRL, penumpang harus transit, turun dan berpindah KRL di Stasiun Tanahabang. Pola baru mengharuskan penumpang menyesuaikan dengan layanan baru, tentu saja sangat tidak nyaman, apalagi ketika hujan tiba karena belum semua stasiun representatif dalam mengakomodasi kebutuhan penumpang ketika transit.

Dengan pola loop line, trayek awal akhir KRL yang semula 37 trayek dapat diringkas menjadi 7 trayek, yaitu Bogor/Depok-Jakartakota. Bogor/Depok-Jatinegara. Serpong-Tanahabang. Bekasi-Jakartakota. Duri-Tangerang dan Tanjungpriuk-Jakartakota, namun untuk rute Tanjungpriuk-Jakartakota belum dapat dioperasikan karena jalurnya belum siap.

Untuk KRL dari Bogor/Depok ke Jatinegara melewati jalur lingkar Manggarai-Jatinegara, yang lebih dikenal dengan jalur loop line, sehingga trayek Bogor/Depok-Jatinegara ini dapat dimanfaatkan sebagai KRL penerus bagi para penumpang dari koridor lain yang turun pada jalur transit. Dengan pola loop line, maka para penumpang dari Bekasi menuju Tanahabang yang sebelumnya dapat langsung tanpa turun, harus transit, turun dan berpindah KRL dari Bogor/Depok ke tujuan Jatinegaradi Stasiun Manggarai.

Demikian pula untuk pulangnya menuju dari Tanahabang menuju Bekasi juga harus turun dan transit berganti KRL dari Jakartakota-Bekasi di Stasiun Manggarai. Dengan pola loop line sebenarnya secara teori penumpang lebihcepat tiba di stasiun tujuan karena frekuensi KRL jauh lebih banyak dibanding dengan trayek awal akhir sebelumnya. Namun karena penumpang harus transit, turun dan berganti KRL inilah yang membuat mereka sulit menerima.

Pengguna KRL di Indonesia selama ini sangat dimanjakan dengan pelayanan pola operasi lama yang lebih nikmat karena penumpang tidak perlu susah untuk berganti KRL di stasiun transit.

Penumpang KRL mestinya melihat pelayanan Busway yang lebih sulit dibanding naik KRL. Penumpang busway bila harus berganti bus ke trayek lainharus naik turun tangga yang melelahkan. Mereka ikut saja dengan peraturan naik busway, namun penumpang KA menolak dan menuntut PT. KAI mempertahankan pola lama.

Dengan pola loop line maka stasiun-stasiun tempat persimpangan KA menjadi stasiun transit, tempat penumpang berganti KRL untuk meneruskan ke stasiun tujuan akhir. Dalam pola loop line, telah ditetapkan beberapa stasiun sebagai stasiun transit, yaitu Stasiun Jatinegara untuk transit penumpang dari dan ke Bekasi ke arah Pasarsenen, Depok/Bogor/Tangerang dan Serpong. Penumpang dapat berganti KRL di Stasiun Jatinegara.

Stasiun Manggarai sebagai stasiun transit penumpang dari Bekasi, Bogor, Depok menuju Stasiun Bekasi, Jakartakota.

Stasiun Tanahabang sebagai sarana transit penumpang dari dan ke Serpong menuju Sudirman, Depok, Bogor, Bekasi dan lainnya. Stasiun Duri sebagai stasiun transit penumpang dari Tangerang ke Tanahabang, Depok, Bogor, Bekasi, dan juga ke Serpong. Sedangkan Stasiun Kampungbandan merupakan stasiun transit penumpang dari dan ke Jakartakota.

Untuk mempermudahkomunikasi visual kepada para penumpang, PT. KAI membuat peta perjalanan dan papan penunjuk visual di hampir seluruh stasiun dan di dalam gerbong KRL. Dalam peta perjalanan rute-rute KRLditandai dengan warna yang menunjukkan stasiun awal dan stasiun tujuan KRL. Misalnya warna kuning untuk KRL rute Bogor/Depok ke jalur lingkar menuju Manggarai, Sudirman, Tanahabang, Duri, Kampungbandan, Pasarsenen hingga Jatinegara.

Totalnya ada 7 warna berbeda sebagai sarana komunikasi visual yang menunjukkan trayek suatu KRL. Dengan pewarnaan yang berbeda, penumpang dapat menentukan dari mana dia berasal, menuju ke stasiun mana dan di mana harus transit, turununtuk berganti KRL agar tujuan akhir stasiunya dapat tercapai.

Perubahan Pola loop line adalah usaha PT. KAI untuk mengatasi keterbatasan jaringan KRL, terbatasnya sistem persinyalan dan bertambahnya penumpang KRL Jabodetabek, sehingga perlu dilakukan perubahan pola operasi agar KRL dapat ditambah disesuaikan dengan kebutuhan penumpang yang terus bertambah.

Pola loop line merupakan implementasi dari kerja keraspara punggawa PT. KAI yang telah mencurahkan pikirannya, bagaimana cara mengoptimalkan jaringan yang sangat terbatas, namun dapat mengangkut penumpang sebanyak-banyaknya.

Para pejabat PT. KAI dan PT. KCJ berkumpul secara maratonberbulan-bulan dandapatmenuangkan konsep dan merancang “Pola operasi KRL Loop Line” yang diberlakukan pada Desember 2011. Meskipun berisiko, PT. KAI dengan dukungan petugas keamanan internal dan eksternal berhasil melakukan perubahan pola loop line dengan baik.

Karenajalur Jakartakota-Tanjungpriuk belum dapat dioperasikan, maka untuk melayani penumpang dari Tangerang menuju Jakartakota atau sebaliknya, PT. KAI mengoperasikan KRL ejek (jarak pendek satu petak jalan) Jakartakota-Kampungbandan. KRL ejek Jakartakota-Kampungbandan merupakan perjalanan darurat yang menyimpang dari pola operasi loop line, namun hal ini harus dilakukan karena untuk memfasilitasi penumpang pada masa transisi, sehingga kelancaran operasi dan pelayanan KRL tetap terjaga dengan baik.

Beberapa kendala perubahan pola operasi loop line di antaranya kondisi stasiun yang aksesnya belum memenuhi standar keselamatan dan standar pelayanan. Misalnya di Stasiun Jatinegara, Manggarai, Kampungbandan, Duri umumnya ketika transit para penumpang harusmenyeberangi rel, menaiki peron yang tinggi dan terkadang terhalang oleh KA atau KRL yang parkir di stasiun transit.

Kondisi ini telah menimbulkan protes keras dari para pengguna jasa ketika pada masa transisi. Bahkan para penumpang beramai-ramai tanda tangan mengeluarkan petisi dan menolak perubahan pola operasi loop line. Dengan keteguhan hati, keikhlasan dalam bekerja PT. KAI berhasil mengubah pola operasi loop line dengan sukses.

Perubahan pola operasi loop line berdampak pada tingkat kesibukan suatu stasiun. ContohnyaStasiun Manggarai sebagai stasiun transit terbesar. Sebelumnya Stasiun Manggarai merupakan stasiun yang sepi karena hanya berfungsi sebagai stasiun pengaturan Perka dan penumpangnya tidak ramai, namun dengan diberlakukannya sistem operasi loop line, stasiun ini menjadi ramai, karena penumpang harus turun dari KRL, transit dan berpindah KRL.

Meskipun berisiko, PT. KAI mau mengambil langkah ini karena merupakan perubahan besar menuju pelayanan KRL yang lebih baik. Dengan perubahan pola operasi, PT. KAI dapat menambah frekuensi dan meningkatkan pelayanan KRL menjadi 1,2 juta orang per hari pada 2019 mendatang. Meskipun dengan berbagai keterbatasan infrastruktur stasiun, jaringan dan sistem persinyalan.

Perubahan pola operasi juga telah menggugah jajaran internal PT. KAI untuk melakukan pembenahan pelayanan. Contoh kecil karena harus melayani penumpang transit, kini PT. KAI telah menyediakan tangga untuk naik turun penumpang, terutama di Stasiun Manggarai, Jatinegara dan stasiun lainnya yang peronnya masih menggunakan peron rendah. Sehingga pelayanan kepada penumpang makin membaik. ###

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun