Mohon tunggu...
Akhmad Sujadi
Akhmad Sujadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Enterpreneur

Entepreneur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bergembira Bersama Anak-anak Suku Bajo

17 September 2014   12:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:27 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_359730" align="aligncenter" width="576" caption="penulis bersama anak-anak suku bajo (foto:Sujadi)"]Dirut PT Pelni bersama wartawan melakukan kunjungan ke suku Bajo .( Foto :Sujadi)

Oleh: Akhmad Sujadi

Suku Bajo konon merupakan suku asli Sulawesi. Mereka lebih memilih tinggal di atas laut. Mungkin untuk memudahkan aktivitas sehari-hari, maka laut menjadi pilihan tempat tinggal. Ada beberapa kelompok Suku Bajo yang tinggal di atas perairan laut Wakatobi. Kami bersama Dirut PT. Pelni Sulistyo Wimbo Harjito memilih Dusun Sampela dan Dusun Pagana Kecamatan Kaledupa, Wakatobi, SulawesiTenggara.

Kunjungan jajaran Pelni berserta beberapa wartawan Ibu Kota ke ini dimaksudkan untuk mengetahui obyek-obyek wisata Bahari, fasilitas Hotel dan sanitasi yang umumnya di pulau-pulau kecil buruk. Kunjungan ke Suku Bajo juga untuk mengetahui bagaimana kehidupan mereka yang memilih laut sebagai sahabatnya. Mungkin lagu nenek moyangku seorang pelaut didasari kehidupan mereka yang betul-betul bersahabat dengan laut. Kehidupan di Dusun Sampega dan Dusun Pagana pagi itu nampak tentram dan damai.

Ketika rombongan kami tiba dari Pulau Hoga, tempat kami menginap dengan Kapal Motor milik Pemda Kabupaten Wakatobi kami langsung diantar yang sang nahkoda kapal cepat berkapasitas 14 orang itu. Kami bertemu warga terutama para bapak yang sedang aktivitas membongkar hasil tangkapan ikan, merangkai jaring yang rusak dan ibu-ibu yang sedang belanja makanan untuk sarapan pagi.

Nelayan yang baru pulang dengan riang mengais ikan yang tersangkut di jaring-jaring. Perahu mereka yang diparkir tepat di sisi rumah, pagi itu agak ke bawah karena air surut. Parit-parit itu ibarat garasi mobil bila kita di darat. Ikan-ikan sepertinya dibongkar di garasi mobil kalau kita di darat.

Parit di sisi rumah umumnya merupakantempatparkir untuk menambatkan perahu atau kapal tanpa mesin. Mereka menggunakan perahu dayung sebagai kendaraan utama warga di Dusun Sampela dan Dusun Pagana yang hidup dalam satu kompleks dengan ratusan rumah. Rumah-rumah yang dilengkapi parit kalau saja dibangun indah mirip bangunan rumah di negeri kincir angin, Belanda.

Pilihan Suku Bajo tinggal di atas laut, perhitungannya cukup matang. Pertama, mata pencaharian mereka nelayan, mencari ikan di laut. Kalau mereka tinggal di darat akan kesulitan dalam memarkir perahu-perahu mereka. Ketika membongkar hasil tangkapan ikan, kalau di laut mudah. Dibongkar dari sisi rumah, di garasi kapal. Kalau di darat tentu akan jauh dari tempat tinggal. Perahu yang ditinggal di pantai sulit diawasi karena bisa dicuri orang atau tebawa air ke tengah lautan, lha kalau diparkir di sebelah rumah lebih aman.

Keahlian mereka mungkin hanya nelayan, menangkap ikan. Keahlian lain sulit diperoleh karena akses dan fasilitas pendidikan yang minim. Maka hanya melaut menjadi dambaan setiap keluarga di sana. Kalau tidak melaut ya tidak bisa makan.

Hidup di atas laut di satu sisi memudahkan, namun di sisi lain menyulitkan. Apalagi kita yang melihat, belum terbiasa hidup seperti mereka. Jadi meskipun memudahkan dalam melaut, parkir kapal dan membongkar hasil panen, Suku Bajo tidak dapatdilepaskan dari daratan. Mereka butuh makan. Makan utama sama dengan orang daratan, nasi, namun untuk pagi hari mereka biasa makan singkong direbus dan ditumbuk kecil-kecil. Pagi hari biasanya ada yang menjajakan ke makanan buat rumah-rumah warga. Satu kantong harganya Rp 3.000,- bisa untuk sarapan 3 orang.

Untuk kebutuhan dapur seperti air minum, garam, cabe, sayuranmereka mengambil di darat, di Pulau Kaledupan. Tugas belanja dan mengambil air umumnya diserahkan kepada ibu-ibu. Untuk mengambil air jaraknya sekitar satu setengah kilo meter ditempuh dengan perahu kayu dengan didayung. Karena sudah terbiasa mereka tak terlihat lelah.

Meskipun bagi orang tua mungkin nyaman hidup di atas laut. Namun bagi anak-anak mereka mungkin karena terpaksa. Mengikuti kehidupan orang tua. Anak-anak butuh pendidikan untuk bekal kehidupan. Karena komunitas mereka cukup banyak, di Dusun Pagana dan Sampela juga ada sekolah, namun bukan sekolah negeri. Sekolah Madrasah tingkat dasardantingkat SMP. Memang sudah dibuka kelas untuk tingkat SMA, namun kelasnya masih bergantian dengan adik-adik kelas mereka. Untuk siswa SMA ada sekitar 30 orang. Kalau ingin sekolah yang bagus dan negeri harus ke Wanci di Pulau Wangiwangi atau Kaledupa.

Kita yang tinggal di Jawa khususnya harus bersyukur karena kemudahan infrastruktur. Mau sekolah tinggal pilih mau negeri atau swasta yang mahal apa yang murah tinggal daftar. Mau ke sekolah tinggal pilih mau pakai mobil pribadi, angkot, bus kota, bus sekolah, naik sepeda motor atau naik kereta semua tersedia. Lha anak-anak sekolah di sana? Kalau ingin sekolah lebih tinggi harus naik perahu dayung. Belum lagi kalau hujan. Repotnya minta ampun.

14109061131802865503
14109061131802865503
[/caption]

Berbicara sekolah tentu harus ada ruang kelas, guru dan bahan ajaran atau kurikulum. Untuk murid-muridnya banyak sekitar 100 orang. Kebanyakan siswa SD dan SMP. Ruang kelasnya? Sangat memprihatinkan. Papan tulisnya jebol bekas ditinju seorang siswa dankarena kenakalan anak-anak yang bermain lempar di kelas dengan benda keras. Bangku-bangkunya juga tidak sebagus bangku sekolah di Jakarta, banyak yang rusak, namun kesulitan pengadaan baru.

Lha yang lebih serugurunya. Umumnya para guru enggan tinggal di atas laut. Umumnya mereka tinggal di PulauKalidupa. Hanya satu orang guru saja yang tinggal di dekat sekolah madrasah. Para pengajar tinggal di Pulau Kaledupa yang merupakan Ibu Kota Kecamatan. Untuk mengajar para guru ini harus berjuang naik perahu dayung.

Umumnya para guru tidak memiliki kapal atau perahu sendiri. Para guru memilih tumpangan kapal atau perahu untuk pergi mengajar. Kalau tumpangan kapalnya datang terlambatotomatis anak-anak terlantar. Ketika kami berkunjung, kebetulan sekali gurunya datang telat. Anak-anak yang sejak pagi sudah siap dengan seragam lengkap bermain liar, ada yang berkelahi berlarian.

Kedatangan Dirut Pelni ke sekolah mereka menjadi pelipur lara bagianak-anak kita nun jauh dari keramaian. Wimbo panggilan akrab Sulistyo Wimbo Harjito bercengkerama, membagi makanan dan foto bersama dengan anak-anak Suku Bajo. Mereka berbagi cerita ke kami, rombongan jurnalis dari Ibu Kota dan insan-insan Pelni. Mereka akrab bersahabat dan membaur gembira atas kedatangan kami. Dengan persahabatan yang mendalam, kami terharu terhadap nasib mereka. Anda ingin berkunjung? ###

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun