Aku sedang sibuk menekan tombol-tombol keyboard komputer desktop di kamar belakang. Terdengar sayup anak bungsuku Nadif yang besekolah di TK 0 Besar itu menangis. Aku tidak begitu peduli. Karena dia sedang bercanda dengan abang-abangnya di kamar utama kami. Ah mereka hanya rebutan sesuatu, pikirku. Aku teruskan menulis untuk mengupdate blog ku, yang sudah lama tidak ada posting apapun.
“Papa…. kepala dedek berdarah” teriak Akmal, anak sulungku. Suara tangis Nadif semakin terdengar keras bersamaan terbukanya pintu kamar oleh Akmal.
Reflek aku melompat darii kursi berlari ke kamar sebelah. Istriku yang sedang berbincang via HP dengan keluarganya, segera mematikan telepon, lari menyusul aku. Masya Allah, kulihat Nadif tidur telungkup di kasur dengan darah segar menetes dari kepalanya. Aku periksa dengan membuka rambutnya, darah itu menetes di kasur dan tanganku. Tangis nadif semakin kencang “Papa…. tolongin aku bawa ke dokter…..”.
Aku paham sekali dengan Nadif, dia tidak akan menangis kalau tidak merasa amat sakit. Istriku tidak kuat melihat nadif terkulai, ia meraung-raung disamping kepala nadif yang penuh darah. “Kenapa Akmal…. kamu apakan adikmu…..kamu apakan adikmu ???” Akmal ikut menangis “Kesenggol tanganku,….. terus dedek jatuh dari tempat tidur,….kepalanya kena pinggir tembok itu” terisak-isak Akmal menjelaskan, wajahnya ketakutan, penyesalan yang dalam tergambar dari wajah polosnya. Aku merlirik tembok yang ditunjuk akmal, ternyata sudut keramik yang tajam !!. Masya Allah.
Aku menyeka kepala nadif dengan sarung bantal yang terlepas dari bantalnya.. Ku sumbat luka yang menganga itu, agar darah segernya berhenti mengalir. Kemal, anak kedua kami tidak bisa menahan sedihnya, air matanya ikut menetes “Gimana dedek…papa… ayo cepet bawa ke dokter…!!!
Sesungguhnya aku juga sangat panik, tapi aku mencoba tetap tegar, tangis Nadif semakin kencang. Aku tidak mungkin membawanya ke dokter yang jauh, bisa-bisa Nadif kehabisan darah. Aku putuskan untuk segera membopong Nadif , berlari ke rumah Bidan di belakang rumah. Tangan kiriku tetap menyeka lobang kepalanya yang tidak henti-hentinya mengeluarkan darah, sarung bantal itu telah berlumuran darah. Aku serasa terbang membawanya, got yang lumayan lebar aku lompati dengan sigap. Aku ingin segera sampai ke rumah bu Bidan. “Papa tolongin aku…. ayo cepet ke dokter” teriak nadif semakin kencang. “Ia sayang… kita ke rumah Bu Bidan ya” suaraku bergetar, nafasku tersengal menahan tangis.
“Bu Bidan-Bu Bidan” panggilku dengan kencang ketika sampai di depan pintu rumah Bidan Kusuma.
“Ia pak.. saya disini” jawab bu Bidan, ternyata dia sedang di rumah tetangganya.
“Tolongin Nadif bu, kepalanya berdarah, kebentur keramik” kata istriku yang menyusul dari belakang.
Tergopoh bu Bidan pulang ke rumah, membuka pintu ruang prakteknya. Dengan cekatan dia mengambil peralatan lalu memeriksa kepala Nadif. Aku melepas seka perlahan, darah itu masih menetes. “Sakit-sakit…. tolong aku papa” tangis Nadif tidak pernah berhenti. Aku tetap menggendongnya sambil duduk di pinggir tempat tidur pasien, sambil terus berusaha menenangkannya. Istriku terus terisak sambil berulang kali menyeka air matanya.
Bu Bidan membersihkan darah Nadif, dan menggunting rambut di sekitar luka yang menganga. Kain kasa yang sudah diberi alkohol ditempelkan untuk menutup luka itu. Tangis anakku semakin kencang. “Perih-perih… sakiiiit”. Tetangga kami, mbak As, ikut repot membantu bu bidan memebersihkan tetesan darah itu. Beberapa tetangga berdatangan meliht dari pintu ruang praktek bu Bidan.
“Gimana bu, apa harus di jahit” tanyaku pada bu Bidan.
“Kita lihat dulu pak… lukanya seberapa lebar dan dalam” kata bu Bidan sambil membersihkan darah yang menempel di rambut anakku yang memang sedang panjang itu. Sedianya malam ini istriku akan membawa Nadif ke salon untuk memotong rambutnya. Dengan kejadian ini pangkas rambu harus di tunda untuk beberapa hari ke depan, hingga lukanya sudah benar-benar sembuh.