“Negara modern dengan fiscal state-nya, merupkan instrumen penindasankepada seluruh rakyatnya. Elemen pokoknya adalah uang kertas, perbankan, dan pemajakan. Tanpa disadari, saat ini sebenarnya sedang dalam proses pembusukan, dimulai dari sistem finansialnya, disusul struktur politik penopangnya. Jalan keluarnya adalah sistem finansial berbasis emas dan perak”.
Demikian awal pemaparan Zaim Saidi, dalam acara diskusi buka bersama Komunitas Duren Sawit (DUWIT), yang diselenggarakan di kantor Asosiasi PPSW, Duren Sawit, Selasa 7 Agustus 2012. Selanjutnya pimpinan Wakala Induk Nusantara (WIN) dan penasehat JAWARA itu menjelaskan “Emas dan perak merupakan alat tukar paling stabil yang pernah dikenal oleh dunia. Sejak awal sejarah Islam sampai saat ini, nilai dari mata uang Islam yang didasari oleh mata uang bimetal ini secara mengejutkan sangat stabil jika dihubungkan dengan bahan makanan pokok. Harga seekor ayam pada masa Rasulullah SAW adalah satu dirham; saat ini, 1,400 tahun kemudian, harga seekor ayam tetaplah satu dirham. Selama 1,400 tahun nilai inflasinya adalah nol”.
Dapatkah kita melihat hal yang sama terhadap dolar atau mata uang lainnya? Bagaimana pula dengan rupiah? Sepanjang umurnya kurang lebih 65 tahun, rupiah sudah mengalami berkali-kali rekalibrasi. Saat rezim Orde Lama 31 Desember 1956 pemerintah memangkas nilai Rp 1.000 menjadi Rp 1, istilah populer untuk peristiwa ini adalah sanering. Penyebabnya hyperinflasi. Selama kurun pemerintah Orde Baru, rupaih juga mengalami rekalibrasi dengan istilah beda yakni devaluasi.
Atas desakan IMF dan Bank Dunia, sudah berkali-kali rupiah mengalami devaluasi terhadap dolar AS. Puncaknya adalah ketika nilai rupiah “terjun bebas” dari Rp 2.700 ke Rp 15.000 yang menyebabkan krisis moneter (krismon) di Indonesia dan lengsernya Presiden Seoharto dengan Orde Baru-nya, walau saat ini rupiah sudah stabil di kisaran Rp 9.000 per dolar AS. Seluruh lapisan masyarakat merasakan dampaknya. Sebelum krisman 1997 jika kita mempunya uang Rp 100.000, dapat membeli telur sebanyak 50 kg, karena harga telur waktu itu hanya Rp 2.000 per kg. Pasca krismon harga telur Rp 7.500, hanya mendapat 13,33 kg . Tahun 2011 harga telur Rp 16.500 hanya dapat 6,25 kg. Saat ini (Agustus 2012), harga telur Rp 18.000, dengan uang Rp 100.000 hanya mendapat 5,5 kg telur. Secara financial kita sudah dijajah oleh dolar AS. Bagi pemagang dolar AS semua sumber daya alam Indonesia dapat dibeli dengan harga semurah-murahnya. Adapun utang negara kepada bankir asing itu akan selalu managable. Itu tujuan redenominasi yang sebenarnya. Debtorship akan terus dilestarikan. Lalu adakah pilihan bagi masyarakat? Pilihan Masyarakat: Dinar, Dirham dan Fulus Tentu saja masyarakat bisa memilih. Yakni pilihlah alat tukar yang tidak bisa disanering, didevaluasi atau diredenominasi, artinya tidak bisa dimanipulasi oleh siapapun, bukan cuma oleh bank sentral dan IMF, yakni alat tukar yang memiliki nilai inrinsik. Pilihan terbaik untuk itu, yaitu dirham, dinar dan fulus.
Keandalan
Uang emas tidak akan mengalami inflasi hanya karena dicetak secara terus menerus; ia tidak akan dapat didevaluasi oleh sebuah peraturan pemerintah, dan tidak seperti mata uang nasional, uang emas merupakan sebuah aset yang tidak tergantung kepada janji siapa pun untuk membayar nilai nominalnya. Portabilitas dan tingkat kerahasiaan dari emas adalah nilai tambah yang penting, akan tetapi lebih daripada itu sebuah fakta yang tidak terelakkan adalah emas merupakan aset nyata dan bukan merupakan hutang. Semua jenis aset kertas, seperti; surat hutang, saham, dan bahkan deposito bank merupakan pernyataan janji hutang yang akan dibayarkan. Nilainya sangat bergantung kepada kepercayaan penanam modal bahwa janji tersebut akan dipenuhi. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh surat hutang sampah dan mata uang Peso Meksiko, janji yang meragukan akan segera kehilangan nilainya. Emas tidaklah seperti ini. Sebentuk emas bebas dari semua bentuk sistem finansial, dan nilainya telah dibuktikan selama 5,000 tahun sejarah manusia. Secara praktis upaya pencetakan dan penyebarluasan dinar dan dirham di Indonesia terus dilakukan oleh Zaim Saidi dengan mendirikan Wakala (agen pertukaran) dinar dan dirham. Untuk memperdalam ilmu tentang kedua mata uang ini, dari pertengahan 2005 hingga pertengahan 2006, ia berguru kepada Syekh Abdal Qadir As-Sufi dan Umar Ibrahim Vadillo asal Spanyol yang tinggal di Afrika Selatan. Sekembalinya ke Indonesia, ia semakin giat mensosialisasikan gerakan penggunaan kembali kedua mata uang ini. Zaim Saidi yang pernah jadi wartawan Republika juga menggagas pemberitaan kurs dinar terhadap rupiah. Sejak 14 Juli 2006, harian ini pun setiap hari memberitakan kurs kedua mata uang emas dan kertas tersebut. Selain itu, ia juga terus memperjuangkan pendirian Wakala, agen pertukaran dinar dan dirham yang telah ia rintis sejak 1999. Kini, sekitar 90-an Wakala tersebar di berbagai kota di Indonesia. Transaksi Nyata Salah satu transaksi jual beli dengan dinar sebagai alat tukar sebagaimana terjadi pada tanggal 7 April 2009. Saat itu, Ahmad Watik Pratiknya menyerahkan koin dinar emas sebagai bagian pembayaran pembuatan situs The Habibie Center kepada Riki Rokhman.Sebulan kemudian transaksi yang lebih banyak berlangsung pada Festival Hari Pasaran yang digelar di Pondok Pesantren Daarut Tauhid (DT) pimpinan KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), di Bandung pada tanggal 10 Mei 2009. Dalam acara ini terjadi transaksi 65 Dinar Emas dan lebih dari 400 Dirham Perak dengan aneka komoditas antara 35 orang pedagang dengan para pembeli. Kini semakin mudah belanja dengan dirham, saat ini paling tidak ada 3 cara membelanjakan dirham anda. Yang pertama, datanglah ke warung-warung yang telah menjadi anggota Jaringan Wirausahawan dan Pengguna Dirham Nusantara (JAWARA). Yang kedua, datanglah ke Kampung Jawara yang terdapat sejumlah warung dan kios yang secara rutin telah menerima pembayaran dengan dirham dengan bertandakan sticker JAWARA, diantaranya terletak di Cilincing, Jakarta Utara dan Tanah Baru, Beji, Depok. Yang ketiga, datanglah ke Festival Hari Pasaran (FHP) Dinar Dirham Nusantara yang diadakan secara periodik oleh JAWARA, saat ini salah satu FHP yang berlangsung secara rutin sebulan sekali, yaitu di lapangan parkir Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam dua tahun terakhir paling tidak telah terselenggara hampir 40 kali FHP di wilayah Jakarta, Depok, Bekasi, Bandung, Serang, Yogyakarta dan Cirebon. Kepada seluruh anggota Komunitas DUWIT -- yang beranggotakan staf Asosiasi PPSW, PEKKA dan ASPPUK -- yang hadir dalam diskusi tersebut, serta kelompok dampingan Asosiasi PPSW dan PEKKA, Zaim mengajak untuk memulai dan membiasakan menggunakan dirham untuk bertransaksi, baik untuk keperluan harian, arisan dirham, pemberian hadiah, sedekah, mahar maupun membayar zakat. Jika kesulitan, ajaklah warung-warung terdekat untuk memulai menerima transaksi dengan dirham. Memang tidak mudah dilakukan, namun jika diusahakan terus menerus, Insya Allah akan berhasil. Jika diwilayah sekitar kita ada lima toko atau lebih yang telah menerima pembayaran dirham, maka disitu bisa disebut Kampung JAWARA selanjutnya dikabarkan kepada masyarakat lebih luas, agar dapat berkembang lagi ke wilayah lainnya. Sehingga suatu saat penggunaan dinar untuk transaksi benar-benar bisa meluas diseluruh wilayah Indonesia. (shd) Sumber: * Buku Euforia Emas, by Zaim Said, Pustaka Adinar * Beberapa Makalah Zaim Saidi tentang Dinar dan Dirham * www.wakalanusantara.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H