Mohon tunggu...
Usep Suhud
Usep Suhud Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kursus Bahasa Inggris di Australia Sambil Menjadi Petugas Kebersihan, Mengapa Tidak?

14 September 2017   02:55 Diperbarui: 14 September 2017   19:16 5763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: sgrs.co.id

Belum lama seorang rekan saya datang menemui. Satu hal yang saya ketahui tentang dia, dia sangat bersemangat untuk bisa kuliah S3 di luar negeri. Bahkan ia sudah mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) dari sebuah kampus di Australia, meskipun masih berstatus conditional(dengan syarat). Status ini dimungkinkan karena ada satu persyaratan yang belum lengkap, yaitu nilai IELTS. Saat ini, dia masih mengambil les untuk terus meningkatkan kemampuannya berbahasa ini. 

Kuliah di negara berbahasa Inggris tentu menuntut calon-calon siswa dan mahasiswanya memiliki standar tingkat penguasaan Bahasa Inggris yang tinggi. Hal ini yang kerap menjadi penghalang orang untuk dapat kuliah di luar negeri. Belum lama, saya mendapat informasi tentang sejumlah dosen yang terbongkar aksinya karena memalsukan nilai IELTS demi mengikuti seleksi beasiswa S-3 ke luar negeri dari Kementerian Ristekdikti. 

Saya mendengar beberapa rekan dosen yang beruntung karena kebijakan-kebijakan tentang nilai IELTS atau TOEFL dari sejumlah kampus di luar negeri. Seorang rekan saya, tanpa diminta nilai IELTS bisa mendapatkan selembar LoA unconditional (tanpa syarat). Itu karena kampus yang dimasukinya memang tak menuntut sertifikat IELTS. Rekan saya yang lain, pernah dua kali tes IELTS. Nilainya 6.5 sesuai dengan yang diminta. Sayangnya, ketika tes pertama, nilai writing-nya 5, padahal yang diminta minimal 6. Lalu pada tes yang kedua, nilai writing sudah mencapai 6, eh, nilai listening menjadi 5. Seharusnya, semua aspek yang diuji minimal memperoleh 6. Untungnya, kampus yang dia lamar, membolehkan calon mahasiswa menunjukkan dua sertifikat tersebut sehingga ia mendapatkan LoA unconditional. 

Kembali ke rekan saya yang menemui saya tadi, saya sarankan kepadanya, jika ia punya cukup uang, agar mengambil kursus Bahasa Inggris di kampus yang memberinya LoA unconditional. Ini yang saya lakukan ketika dulu saya hendak kuliah S3 di Australia. Untuk meningkatkan 0.5 poin, biasanya mereka akan menawarkan kita kursus selama tiga bulan. Jika untuk 1 poin, mungkin bisa sampai enam bulan. Jika sudah mengikuti kursus sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, pihak manajemen kursus akan langsung bersurat ke Kantor Akademik kampus mengabarkan kita sudah selesai, dan Kantor Akademik akan menerbitkan LoA unconditional.

Biasanya tanpa kita harus ujian IELTS lagi. Ujian IELTS diberlakukan jika, misalnya, kursus belum selesai, tapi kita sudah tidak sabar untuk mendapatkan LoA unconditional. Hal ini dialami oleh seorang rekan saya. Ia seorang dosen di Jakarta. Setelah beberapa kali tes IELTS tapi nilainya belum cukup, saya sarankan untuk kursus di kampus yang ia inginkan. Tiga bulan kursus, berhasil. 

Nah, untuk kursus Bahasa Inggris di luar negeri, larinya memang ke urusan keuangan. Rekan yang saya sebut terakhir itu, sampai-sampai harus menyewakan rumahnya dan memboyong keluarganya ke rumah orangtuanya demi bisa kursus di luar negeri. Rekan yang datang menemui saya ini, saya sarankan demikian juga. Jika dia punya tabungan atau aset lainnya, sebaiknya, perlu mempertimbangkan untuk memanfaatkannya. Lalu, jika sudah berada di negara tujuan, jangan habiskan waktu untuk berleha-leha.

Pengalaman saya, di kelas kursus Bahasa Inggris yang jumlah mahasiswanya sekitar 15 orang yang berasal dari 14 negara berbeda, sebagian dari mereka bekerja paruh waktu. Misalnya, empat siswa yang berkebangsaan Jepang, Korea, Iran, dan Tiongkok, kerja di empat restoran cepat saji yang berbeda. Seorang siswa lain berkebangsaan Iran menjadi guru les gitar. Siswa lainnya berkebangsaan Bangladesh, menjadi petugas keamanan sebuah restoran. Cerita lain dari kelas lain, seorang siswa kursus yang berasal dari Jakarta, karena keahliannya ber-DJ, dia sering menjadi DJ tamu di sejumlah club. Seorang siswa lain yang datang dari Surabaya, menjadi petugas cleaning service di sebuah sekolah dasar.

Uang-uang yang mereka kumpulkan, ada yang sekedar untuk bersenang-senang dan menyambung hidup, sebagian lain untuk balikin modal. Rekan saya yang asal Surabaya itu bisa kursus bahasa ke Australia karena dapat pinjaman dari tempatnya bekerja. Dengan menjadi petugas kebersihan, dia bisa melunasi hutangnya. Rekan saya yang dari Bangladesh, penghasilannya bahkan untuk membiayainya kuliah master.

Berapa penghasilan orang-orang itu? Well, tidak kepada semua orang saya bertanya. Rekan saya dari Bangladesh bercerita, dia mendapatkan honor 43 dolar (mudah-mudahan saya tidak lupa) per jam untuk menjadi petugas satpam. Saya pernah menjadi petugas kebersihan kampus dengan honor 21 dolar per jam. Pernah juga saya menjadi petugas survei di sebuah perusahaan survei mendapat honor 24 per jam. Sayangnya, untuk mereka yang datang ke Australia dengan visa mahasiswa, maksimum boleh bekerja dibatasi hingga 20 jam per minggu. Yeah, tetap lumayanlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun