Mohon tunggu...
Suhindro Wibisono
Suhindro Wibisono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

. ~ ~ ~ ~ " a critical observer " ~ ~ ~ ~ ( 5M ) ~ SPMC = "Sudut Pandang Mata Capung" ~ yang boleh diartikan ~ "Sudut Pandang Majemuk" || MEMPERHATIKAN kebenaran-kebenaran sepele yang di-sepele-kan ; MENCARI-tahu mana yang benar-benar "benar" dan mana yang benar-benar "salah" ; MENYUARAKAN kebenaran-kebanaran yang di-gadai-kan dan ter-gadai-kan ; MENGHARAP kembali ke dasar-dasar kebenaran yang di-lupa-kan dan ter-lupa-kan ; MENOLAK membenarkan hal-hal yang tidak semestinya, menolak menyalahkan hal-hal yang semestinya. (© 2013~SW)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terjerumus "Mikul Duwur Mendem Jero" (?)

26 Mei 2016   20:04 Diperbarui: 26 Mei 2016   20:14 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.goodnewsfromindonesia .org

 Opini Nyinyir Idealis ala: (‪#‎SPMC‬) Suhindro Wibisono.

Selasa malam 24 Mei 2016 nonton ILC di TVONE, debat kusir pro kontra gelar pahlawan untuk mantan Presiden Soeharto, tentu saja ada yang pro dan kontra, karena kalau tidak ada yang pro dan kontra pasti tidak ada perdebatan itu bukan?

Kedua kelompok (pro vs kontra) "makna inti" alasannya adalah "DENDAM", yang pro berwacana "Jangan Dendam" yang kontra mengingat semua trauma akibat Pemerintahan Presiden Soeharto, kata singkatnya adalah "Dendam".

 Secara psikologi perorangan alias individu yang trauma, istilah populer sekarang "gagal move on", jelas tidak bagus untuk orang tersebut secara pribadi. Trauma atau dendam atas perlakuan buruk tidak sama akibatnya terhadap semua orang. Bagi yang pendendam (biasanya kepribadian introvet) sangat mungkin sampai mati juga tidak akan bisa melupakannya walau sudah mendapat pengobatan "trauma healing" sekalipun. Itulah sebab pencegahan atas perbuatan yang mengakibatkan trauma seharusnya sangat diutamakan, jangan heran kalau misalnya perbuatan "pemerkosaan" akan dikutuk oleh banyak orang, karena percaya atau tidak perbuatan itu akan mengakibatkan korban mengalami trauma, bahkan sangat mungkin trauma seumur hidup bagi korbannya. Jadi saya sangat setuju perbuatan yang mengakibatkan trauma selayaknya dikutuk dan hukumannya diperberat, bahkan untuk perbuatan-perbuatan sadis sangat layak pelakunya dihukum mati saja. Sori jadi ngelantur nyerong wacana.

 Ketika Pak Mahfud MD sebagai nara sumber terakhir di ILC Selasa malam mewacanakan "baginya semua presiden layak diberikan gelar pahlawan" dengan alasan tentu saja yang positif-positif sambil mengutarakan bahwa semua presiden juga melakukan hal yang negatif, jadi intinya lupakan saja negatifnya, maka gelar pahlawan itu layak disandang bagi semua mantan presiden (NKRI tentu saja) jika sudah meninggal dunia.

 Dan wacana Pak Mahfud MD itulah yang membuat saya ingin menulis artikel ini. Karena saya renungkan mungkin Pak Mahfud lupa bahwa negara ini adalah negara hukum, maaf ya kalau menganggap Pak Mahfud lupa walaupun beliau adalah Profesor Hukum, karena bukankah beliau juga lupa ketika mengira Gus Dur masih hidup dalam pembicaraannya Selasa malam itu?

 Negara hukum adalah negara yang memperlakukan semua warga negaranya setara dihadapan hukum. Maka ketika orang besar / orang kaya / orang penting / orang vvip, oleh rakyat terbaca atau dimaknai tidak boleh diadili dihadapan hukum, apakah sejatinya benar NKRI adalah negara hukum? Hal itu termasuk "pameran" jalannya persidangan hukum yang sudah dapat ditebak oleh rakyat hasil akhirnya, atau pengadilan korupsi puluhan milyar yang hasil putusannya hanya berbeda sedikit dengan para maling sapi atau maling jemuran, seolah memberi "hiburan" kepada rakyat bahwa semua sama dihadapan hukum.

 Sementara ini yang "hanya boleh" diadili baru pejabat yang terlibat korupsi, dan itupun juga masih dengan pertimbangan klasik yang sangat di pegang erat oleh para pengambil keputusan "MIKUL DUWUR MENDEM JERO". Karena kata "keramat" itu awalnya diwacanakan oleh orang nomor satu, maka seolah-olah hal itu juga dikeramatkan hanya berlaku untuk orang nomor satu saja. Mikul Duwur Mendem Jero, menurut rasa saya ya seharusnya tidak untuk diperlakukan pada urusan pemerintahan, kalau menjadi Presiden lalu seolah kebal hukum, apa iya negeri ini termasuk negara hukum?

 Bukankah menjadi Presiden itu lebih diharapkan sebagai pengabdian terhadap negara dan seluruh rakyat? Jika Presiden dan semua tokoh bahkan seluruh rakyat sudah dikondisikan "Mikul Duwur Mendem Jero" bagi orang nomor satu, yang konotasinya lebih dimaknai untuk menjaga dan selalu terjaga kehormatan orang nomor satu (plus nomor 2), bukankah hal itu sangat membahayakan dan bahkan cenderung tidak sehatnya bernegara itu sendiri?

 Presiden pertama NKRI kita semua tahu ditetapkan menjalani tahanan rumah, apakah pernah diadili di pengadilan? Presiden kedua NKRI juga ditetapkan oleh MPR untuk diusut kesalahannya, apakah lalu pernah diadili di pengadilan? (Maaf kalau salah ingat data). Ketika Presiden dilengserkan, bukankah itu artinya punya kesalahan, kalau tidak salah kenapa dilengserkan, kalau salah kenapa tidak pernah diadili? "Mikul Duwur Mendem Jero", sungguh menyesatkan kalau dianggap dalil dan diberlakukan untuk urusan bernegara, utamanya berlaku untuk paket Presiden dan Wapres. Bagaimana kalau yang menjadi Presiden kebetulan orang yang licik, serakah, dan piawai, lalu menyadari sesadar-sadarnya bahwa maksimal yang dapat dilakukan terhadap dirinya adalah "dilengserkan" dan tidak akan ada pengadilan karena "Mikul Duwur Mendem Jero" itu tadi?

 Korsel, Jepang, Amerika dan banyak negara lain lagi, pernah mengadili (mantan) Pemimpinnya, apakah negara-negara itu menjadi tidak punya kehormatan lagi? Dengan makna lain, apakah negara kita menjadi lebih terhormat karena Pemimpinnya belum pernah ada yang diadili? Apakah bukan menjadi terbalik? Atau apakah tidak mengesankan bahwa kita adalah Bangsa yang munafik? Bangsa yang tidak paham apa makna negara hukum karena kenyataannya hukum di negara ini dikuasai kepentingannya oleh para politisi maupun para penegak hukum itu sendiri, hukumnya digadaikan sedemikian rupa sehingga lupa apa makna negara hukum itu, dan ngenesnya pelakunya adalah tokoh-tokoh yang justru sangat paham tentang hukum. Atau memang sejatinya kita adalah Bangsa yang sangat serakah yang masih diperparah dengan egois? Lalu kalau itu kenyataannya tentang Bangsa kita, dan masih berprinsip melanggengkan "Mikul Duwur Mendem Jero", apakah tidak membuat negara ini semakin lama dalam keterpurukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun