Mohon tunggu...
Suhindro Wibisono
Suhindro Wibisono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

. ~ ~ ~ ~ " a critical observer " ~ ~ ~ ~ ( 5M ) ~ SPMC = "Sudut Pandang Mata Capung" ~ yang boleh diartikan ~ "Sudut Pandang Majemuk" || MEMPERHATIKAN kebenaran-kebenaran sepele yang di-sepele-kan ; MENCARI-tahu mana yang benar-benar "benar" dan mana yang benar-benar "salah" ; MENYUARAKAN kebenaran-kebanaran yang di-gadai-kan dan ter-gadai-kan ; MENGHARAP kembali ke dasar-dasar kebenaran yang di-lupa-kan dan ter-lupa-kan ; MENOLAK membenarkan hal-hal yang tidak semestinya, menolak menyalahkan hal-hal yang semestinya. (© 2013~SW)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Sejatinya Ahok Boleh/Tidak Jadi Pemimpin?"

7 September 2015   15:45 Diperbarui: 7 September 2015   18:04 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="panjimas.com"][/caption]

 

"SEJATINYA KAFIR AHOK BOLEH/TIDAK JADI PEMIMPIN?"
( "APA BETUL SETIAP NON MUSLIM ITU KAFIR?" )

.
OPINI SENSI || (SPMC) Suhindro Wibisono
.
(JANGAN Kasih Tanggapan Sebelum Klar Baca Artikelnya, JANGAN LUPA BERSANTUN RIA)

.
KETIKA "diskusi" disuatu lapak tentang agama yang diseret ke ranah politik, teman diskusi menyodorkan hal berikut: "Jika anda muslim memilih pemimpin kafir, layak dipertanyakan muslim anda"
.
KETIKA diingatkan bahwa Gus Dur, Syafii Maarif, Hasyim Muzadi, Alwi Shihab, dll., sekali lagi "dan lain-lain", anehnya kok tidak mempermasalahkan hal itu, apakah "Anda" lebih hebat dari mereka soal agama Islam? Juga diingatkan tentang: "Bukankah Quran Anda sama dengan Quran yang dibaca mereka?" Masih saya tambah lagi ingatkan bahwa "Sangat mungkin Anda memahami Quran-nya jangan sepotong-sepotong, karena kalau itu yang Anda lakukan sangat mungkin akan kurang tepat." Sudah dapat ditebak inti jawabannya, merasa paling benar , sudah sesuai Quran, bahkan ada yang rela "menyalahkan sampai ada juga yang tega menghujat" diantara nama tokoh yang saya sebutkan itu. Sungguh itulah cermin kefanatikan, sangat fanatik sampai menakutkan, utamanya menakutkan dalam hidup berbangsa dan bernegara di NKRI ini. Apakah itu murni karena fanatik, atau ada agenda dibalik itu semua? Ketika ingat Kultum Syafii Maarif pada Ramadhan yang lalu di Kompastv, sedikit cuplikannya adalah mengatakan "Negara Timteng mana yang layak kita jadikan contoh bernegara, bukankah mereka kebanyakan saling bunuh-bunuhan sendiri dalam peperangan dan terorisme?" Kurang lebih intinya begitu, tentu saja tidak tepat seperti itu karena saya tidak merekam kultum-nya.
.
KETIKA diingatkan bahwa Konstitusi Negeri ini bukan berdasarkan agama tapi menyatakan bahwa semua warga negara punya hak dan kewajiban yang sama, tetap saja ngeyel dan meyakinkan bahwa sebagai muslim tidak boleh memilih pemimpin yang bukan muslim, "jika ada pembaca yang merasa sebagai muslim, apakah dalil yang saya katakan salah?" Bertambah sengit dalam menegaskan. Tidak kurang semangat saya utarakan sambil mempertanyakan, kalau memang seharusnya yang Anda katakan itu suatu keharusan, kenapa di konstitusi negara tidak dikatakan saja : "Pemimpin harus muslim", sehingga Ahok tidak boleh jadi Gubernur (dalam diskusi "hangat" tentang Ahok), karena menurut saya berdasar konstitusi yang ada, bahkan Ahok jadi Presidenpun dimungkinkan kalau ada partai yang berhak mengusulkan dan menang dalam pemungutan suara.
.
KETIKA hal semacam diskusi itu tidak dijelaskan secara gamblang dan terbuka bagaimana seharusnya negara bersikap, karena tidak pernah menegur hal semacam itu waktu ada kampanye atau demo dan membiarkannya terus berlarut untuk kepentingan politisasi sesuai kebutuhan, bukankah sama artinya mempermainkan rakyat? Masihkah anda ingat, ketika Pilpres 2014 yang lalu, banyak yang meng obok-obok silsilah Jokowi, diteliti untuk menelisik kesalahan sekecil apapun, terus bermunculan gosip mulai dari PKI, ortunya China asli Singapura, terus juga dibilang dari keluarga Kristen. Sangat kebangetan memang, politisasi sesuai kepentingannya sendiri, menebar fitnah SARA demi menjatuhkan lawan. Tak peduli walau harus menggadai agama yang katanya sangat suci, apakah sejatinya mereka mempercayai agamanya sendiri? Jika seandainya ditemukan ortunya Jokowi itu kristen tapi Jokowinya Islam, apakah ada masalah? Bukankah banyak keluarga-keluarga di NKRI yang gado-gado dalam beragama? Yang paling kebangetan adalah, sangat terang benderang yang mereka dukung waktu itu jelas silsilahnya bukan muslim murni, bahkan adiknya juga ceto welo-welo bukan muslim, lha ngapain pendukungnya ubek-ubek silsilah kompetitor, tapi didepan mata tidak mempermasalahkan? Apakah tidak keblinger namanya? Apakah memang agama hanya untuk dipermainkan sesuai kebutuhan? Atau saya yang justru kebangetan menuliskan ini semua?
.
KETIKA pada diskusi jauh waktu dari cerita tersebut diatas juga pernah saya utarakan, soal haram hukumnya memilih pemimpin yang bukan muslim, lalu bagaimana dengan warga muslim yang menjadi warga negara Amerika, Jepang, Australia, dan banyak lagi dimancanegara itu? Apakah mereka semua juga haram, murtad, dan muslimnya tidak benar? Apakah mereka yang migrasi kemancanegara itu tidak paham bahwa pemimpin di negara-negara itu bukan muslim? Bahkan sampai detik ini masih sering kita lihat berita para pencari suaka maupun para imigran dari negeri muslim, baik imigran gelap maupun terang yang berduyun duyun ke Eropa, Jerman utamanya, juga Australia, Apakah mereka semua itu tidak paham Quran juga? Islamnya salah juga? Apakah lalu tidak jadi banyak yang salah dan harus dipertanyakan?
.
KETIKA pada suatu diskusi (debat-kusir tepatnya) saya menyodorkan ayat-ayat yang menyiratkan "kebejatan" mananggapi ayat-ayat kebejatan yang ditampilkan pada artikelnya, mereka semua hampir koor mengingatkan: "Kalau mau jelas baca dulu seluruh isi Quran, karena ayat-ayat itu tidak boleh dimaknainya sepotong-sepotong, harus tahu sejarahnya, harus tahu ayat tersebut turunnya pada masa apa." Kurang lebih ingat saya mereka mengatakan begitu. Waktu debat dan menghujat kitab suci orang lain saya ingatkan semacam itu tidak mau dengar, tapi ketika disodorkan ayat yang tidak meng-enak-kan, orang diminta memahami seluruh Quran baru boleh membahas, apakah tidak egois? Begitu juga ketika diingatkan tentang: "Jangan pilih kafir sebagai pemimpin kalau Anda merasa muslim". Apakah Anda yakin tidak salah memahami Quran? Apakah semua tokoh hebat itu salah? Apakah semua muslim warga negara mancanegara itu salah juga islamnya karena pemimpin negaranya bukan muslim? Ah ..... kenapa senang membuat keruh susana? Apakah bukan bermaksud mengadu domba rakyat? Atau memang ingin menciptakan penganut agama yang radikal dan fanatik seperti pakai kacamata kuda? Bukankah beragama itu sejatinya mengimani? Apakah itu semua terjadi bukan karena semua orang boleh tausiah asal merasa haji, asal merasa mampu, asal merasa hebat? Sehingga dengan sesuka hati "boleh" menyampaikan keinginannya dengan bungkus agama. Kenapa tidak ada yang mengkoordinir? Apakah tidak memahami bahwa agama itu sangat sensi? Ideologi yang dibawa agama itu sungguh sangat luar biasa, dan itu juga terjadi disemua agama. Banyak yang rela mengorbankan nyawa karena doktrin agama, dan itu sudah sangat banyak contohnya, termasuk pengantin pelaku bom bunuh diri.
.
KETIKA mencermati itu semua, lalu berandai-andai, dan dalam berandai-andai itu boleh menghimbau, maka sebaiknya negara secara resmi mengambil sikap dan memberi arah kebijakan dalam hal politik praktis itu, walau memang konstitusi sudah menyiratkan dengan jelas, bahwa tidak ada dominasi mayoritas maupun diskreminasi minoritas, sebaiknya Pemerintah juga harus selalu mengingatkan prinsip bernegara kita sebagai suatu bangsa, lalu juga berani dan harus menegur hal-hal yang menyimpang atau tidak sesuai dengan kebijakan negara, walau itu menyangkut agama sekalipun. Pembiaran doktrin yang tidak sesuai dengan kesepakatan garis besar bernegara, bukan tidak mungkin menanam rasa salah terhadap kebijakan negaranya sendiri, itu artinya mengadu domba rakyat dan pemerintahnya sendiri.
.
KETIKA mencermati suatu tanggapan, ada yang sampai mengatakan: "Memang Konstitusi Negara mau dianggap lebih tinggi dari Quran?" Sungguh itu bukan hal yang sepele, sangat mungkin fenomena gunung es, dan hal itu sungguh sangat mengkhawatirkan untuk keberlangsungan langgengnya kita bernegara, dan hal itu memang sangat sensi untuk berani dibenahi dinegeri ini, karena apapun yang dilakukan untuk meluruskan dan bertujuan baik sekalipun, pasti akan ditentangnya. Kenapa tidak mencontoh negara lain dalam menangani agama? Amerika, Australia, Singapura, juga banyak negara di eropa misalnya? Karena kalau dalam hal itu kita berkiblat ke negara TimTeng, bukankah disana tidak banyak yang kita bisa jadikan contoh yang baik? Saya paham itu sangat tidak mudah, lha wong dilarang potong hewan korban sembarangan saja langsung di cap "musuh Islam", padahal di Arab saja juga tidak boleh potong hewan korban sembarangan, tapi apa pedulinya? Yang penting jangan sampai kutik-kutik sedikitpun, baik berdalih kabaikan sekalipun ...... Bukankah begitu juga ketika dihimbau: "Jangan gunakan speaker keras-keras, apalagi kalau speakernya hanya setel/mainkan CD/Kaset, memang CD/Kaset bisa terima pahala?" Kata yang menghimbau, yang padahal adalah juga ketua dewan pembina masjid (maaf kalau salah data), tapi juga menuai caci maki dan sindir sana-sini, padahal kalau tahu di negara-negara seperti Australia juga di Eropa, hal tersebut jelas dilarang, menempatkan speaker diluar gedung.
.
KETIKA merenungkan itu semua, toh hanya mampu berharap, semoga Pemerintah tidak menganggap bahwa hal seperti itu tidak perlu ditindak lanjuti, karena ideologi agama adalah sesuatu doktrin yang sangat luar biasa, ummat yang terdoktrin akan dengan suka rela melakukan apa yang dianggapnya benar, dan hal itu bukan tidak mungkin berujung membenturkan anak bangsa sendiri kepada Pemerintahannya sendiri, entah Pemerintahan yang manapun yang bisa saja terjadi. Jangan biarkan pertikaian dibawah terus berlanjut, apa lagi kalau sengaja bermaksud untuk digunakan demi menjegal kompetitor politik dalam ajang-ajang pemilihan dari tingkat lurah hingga Presiden. Semoga Pak Presiden membaca himbauan saya ini dan berkenan memerintahkan Kementrian dibawahnya untuk membahas hal itu dan menemukan solusinya, utamanya SERINGLAH mengingatkan rakyatnya, karena memang yang saya lihat adalah pembiaran. Maaf kalau salah, atau kali ini saya ngocehnya kelewatan lagi, saya hanya menginginkan negeri ini tetap menjadi negeri yang menyenangkan bagi semua penghuninya. Wassallam. (SW, Senin, 7 September 2015)
.
.
Sumber gambar:
panjimas .com

( YANG BERKENAN UNTUK "SHARE", LANGSUNG SAJA, TQ )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun