KOMPASIANA. Pasti banyak yang tidak paham dari kata judul artikel ini, "nglonggo" adalah sebutan kami waktu minum air putih 'zaman poerba', proses minum air tanpa gelas dan dilakukan langsung dari "kendi". Kendi sendiri adalah gerabah dari tanah liat yang memang dibuat untuk tempat air minum. Jadi waktu minum ujung kendi tempat keluarnya air tidak boleh kena bibir, karena kalau kena bibir pastinya seperti "nyisani" peminum-peminum berikutnya .... Dan kalau hal itu terjadi, biasanya kita sebut "nyucup".
Waktu kita masih kurcaci doeloe, tentu saja tidak langsung bisa nglonggo, jadi sering kali awalnya kita nyucup .... Lalu kalau ada saudara yang mengetahui ... langsung deh laporan pembangunan ke Ibu .... dan seperti yang Anda duga ....... kami akan mengulang lagi sambil sembunyi-sembunyi atau syukur tidak ada yang antri mau minum juga .... Seperti belajar naik sepeda, kalau sekali jatuh tidak berani coba lagi pasti kita tidak pernah bisa naik sepeda bukan? Itu semua kami lakukan karena kalau pakai gelas harus cuci sendiri, dan nglonggo adalah "shortcut" untuk bebas tugas dari cuci gelas. Dan kami bersaudara cukup mahir untuk nglonggo tersebut dengan tidak nyucup.
Yang kurang menyenangkan dengan menggunakan kendi untuk air minum adalah waktu kendi baru, air minumnya jadi terasa gerabah/tanah, dan hal itu bisa terjadi selama seminggu. Kendi pecah ingat saya lumayan sering terjadi, karena kendi-nya memang termasuk gampang pecah, apalagi waktu kita masih anak-anak, kalau kebagian minum dan airnya pas habis, harus ngisi air dari gentong tempat penyimpanan dan pengendapan air yang sudah dimasak, lalu juga ada giliran harus mencuci kendi tersebut beberapa hari sekali, proses mencucinya di-gojaki, alias diisi air lalu dikocok-kocok atau digoyang-goyang kemudian dibuang airnya, terakhir dibilas pake air matang dan digoyang-goyang lagi, nah proses-proses itulah yang menyebabkan kendi pecah, entah karena jatuh atau terbentur lantai tempat nyuci ....... Kalau dipikir-pikir sekarang, maklum kita semua masih kecil waktu itu.
Awal April 2015 yang lalu saya pulang kampung, sebelumnya sudah ingat tentang kendi dan tiba-tiba seperti kangen ingin minum segarnya air putih langsung dari kendi, itulah sebabnya saya BBM adik saya yang kebetulan ada di kampung minta untuk dibelikan kendi. Mungkin Anda akan mengatakan: Memang kendi tidak ada di kota tempat tinggal saya sekarang? Tentu saja ada kalau mau berburu dipasar-pasar tradisional, tapi saya maunya kendi seperti yang biasa kami gunakan waktu zaman doeloe, kendi dikampung halaman saya tidak terlalu besar, dan itu rasanya enak atau pas untuk nglonggo, setahu saya beda dengan kendi daerah Jawa Tengah yang tergolong lebih besar. Juga teringat segarnya rasa, dinginnya itu seperti alami karena proses air tersimpan didalam kendi, walaupun saya tahu bahwa minum air hangat menurut banyak penelitian sangat baik untuk tubuh. Cuek saja lah sekali-kali ...
Saya membawa dua kendi sebagai oleh-oleh waktu pulang kampung kemarin, jangan tanya berapa harganya, karena memang saya tidak tahu berapa harganya. Waktu saya nanya berapa harganya, adik saya bilang "engga usah", memang masudnya untuk ganti duitnya, tapi kalau harus ribut soal kecil-kecil begitu .... bukankah seperti tidak saudara? Padahal untuk hal-hal yang lebih besar dari kendi saja kita tetap bersaudara, tapi karena memang pesan BBM-nya waktu itu ada kata-kata "titip belikan", ya kan tidak etis kalau tidak bermaksud mengganti ....
Untung mudik kemarin PP naik KA, jadi lebih mudah bawa kendinya, tapi waktu kendinya saya cuci, saya pecahkan satu, dan saya merasa kok kendi sekarang tidak sebagus kendi doeloe ya? Padahal kendi yang berisi air hanya saya gojak-gojak dan tidak terbentur apa-apa tiba-tiba leher kendinya putus pecah, atau mungkin karena saya isinya air penuh dan tidak boleh dogojak-gojak ketika berisi air penuh? Wallahuallam ...... sudah hampir setengah abad tidak pake kendi ...... Saya juga sempat mau tahu berapa banyak air bisa ditampung di kendi itu, ternyata sekitar 2,1 liter.
Karena ingat rasa gerabah/tanah untuk air dalam kendi baru, maka saya coba cuci kendinya dengan merendam dulu didalam ember selama 2 hari, pada hari berikutnya coba saya masukkan cairan pencuci piring yang bisa untuk cuci buah, dan diamkan selama 1 hari. Setelah saya cuci bersih dan keringkan dengan cara ditiriskan secara terbalik, besoknya baru saya pakai tapi terlebih dulu saya bilas dengan air minum mineral, lalu kendi tersebut sekarang sudah saya pake, ternyata airnya tetap ada rasa gerabah/tanah. Untungnya sudah pengalaman waktu kecil, jadi tidak merasa takut meminumnya, tapi awal-awalnya saya masih pake gelas, siapa tahu ada pecahan-pecahan gerabah yang rontok?
Yang saya tidak ingat tentang kendi adalah, ternyata sampai sekarang setelah beberapa hari saya pakai, airnya tetap ngerembes keluar, jadinya saya pakai piring kecil supaya air rembesan tidak menyebar dimeja. Saya tidak tahu apakah memang semua kendi begitu, atau memang pengrajin gerabah kita tidak bisa membuat kendi yang bagus? Seperti gerabah buatan China atau Jepang misalnya. Dan yang pasti air rasa gerabah hanya berlangsung dua hari, tapi yang terpenting ternyata saya masih mahir nglonggo, siapa mau coba kesegaran air kendi? (SPMC SW, April 2015)
------------------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H