Mohon tunggu...
Suherman MH
Suherman MH Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Tetap

Hobi Olahraga Tenis Meja dan Sepak Bola Traveling dan kajian ilmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kearifan Lokal dalam model pelaksanaan Kerukunan Masyarakat dalam upaya meminimalisir Potensi Terjadinya Konflik

13 Desember 2024   06:54 Diperbarui: 13 Desember 2024   07:00 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kahabanet.Detikberita

Abstrak 

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui dan
mendeskripsikan kondisi kerukunan di Masyarakat di Kecamatan palibelo; (2) Untuk
mengetahui dan menjelaskan bagaimanakah bentuk kerukunan masyarakat dapat mencegah
terjadinya konflik Internal di Kecamatan Palibelo Kabupaten Bima Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dan analisis deskriptif. Selain itu, penelitian ini merupakan bagian dari
kegiatan Partisipatory Action Researche (PAR) Pembentukan Wadah Kerukunan dan
Ketahanan Masyarakat Lokal. Sasaran penelitian ini adalah masyarakat/umat beragama di
wilayah Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima, Provinsi NTB. Pemilihan wilayah ini sebagai
sasaran penelitian dikarenakan beberapa faktor. Pertama, wilayah Kecamatan Palibelo terletak
di antara Pusat Kota Bima dan Gerbangnya Kabupaten Bima; Kedua, menurut Koentjaraningrat
sebagaimana dikutip oleh Rahman, etnis Palibelo termasuk tipe masyarakat pedesaan dan tidak
mengalami gelombang pengaruh kebudayaan luar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
Kerukunan di wilayah Kecamatan Palibelo cukup baik. Meski di wilayah ini terdapat tiga
kelompok penganut agama tetapi mereka dapat hidup berdampingan secara damai. Konflik yang
pernah terjadi berupa: konflik vertical, horizontal dan dan potensi konflik pun dapat
terminimalisir beerkat upaya dan kiat serta peran serta seluruh element yang ada di Kecamatan
Palibelo

1. PENDAHULUAN
Tatanan-tatanan hukum telah ada di Indonesia jauh sebelum masyarakat mengenal hukum
modern. Masyarakat Indonesia telah hidup dengan aturan dan kebiasaan yang bersumber dari
masyarakat ini selama beratus-ratus tahun yang lalu. Walaupun aturan-aturan hukum tidak berbentuk
perundang-undangan yang kita kenal sekarang dengan segala ketentuan dan sanksi yang jelas dan tegas,
tetapi tatanan hukum tersebut telah dapat memelihara keteraturan dan melindungi kepentingan
masyarakat. Setiap kejahatan yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan
masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap kejahatan dapat diselesaikan agar
keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipulihkan. (Sudarto, 1997).

Kahabanet.Detikberita
Kahabanet.Detikberita

Suku Palibelo tinggal di Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima, Propinsi Nusa Tenggara Bara
(NTB). Nama Palibelo atau lengkapnya Dou Palibelo berarti "Orang Pesisiran Gunung.".
Masyarakat Palibelo dikenal memiliki kearifan lokal dalam berbagai bidang kehidupan, dalam
pembangunan rumah. Kearifan lokal tersebut kini banyak yang hilang, rumah panggung yang hingga
sampai sekarang masih terlihat di Palibelo. Sedangkan sosial budaya dalam bertani masyarakat Palibelo
mengenal kegiatan gotong royong. Kehidupan masyarakat Palibelo memiliki beragam ciri khas baik
dibidang, sosial kemasyarakatan, budaya, pertanian dan pernikahan. Salah satu ciri khas kehidupan
sosial masyarakat Palibelo dalam bidang pernikahan yaitu peristiwa sodi angi dan dan Londo Iha
(bertunangan dan Kawin selarian) bagi masyarakat Palibelo bukanlah hal yang baru melainkan telah
mentradisi dan mengakar di masyarakat Palibelo yang menjadi ciri khas pola kehidupan sosial
manyarakat Palibelo dalam bidang pernikahan.

Setiap kelompok masyarakat yang menempati wilayah tertentu sebelum adanya ketentuan
perundang-undangan sebagaimana yang dibuat oleh Negara, sudah mempunyai cara tersendiri untuk
mengatur agar kehidupan individu-individu di dalam kelompok tersebut berjalan tertib dan teratur.
Cara-cara tersebut muncul dari nilai-nilai pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan yang sering dikenal
dengan adat istiadat. Hukum adat berurat dan berakar pada kebudayaan tradisional yang hidup dari
perwujudan perasaan hukum yang nyata dari masyarakat dan terus menerus dalam keadaan tumbuh
dan berkembang seperti hidup itu sendiri
Sudah lebih dari satu dasawarsa kondisi bangsa Indonesia tidak pernah berhenti dilanda konflik.
Jika kita flashback ke belakang, bangsa Indonesia sudah relatif lama berupaya menciptakan kerukunan
antarumat beragama dan telah mengalami proses panjang. Sejak tahun 1966 telah dirintis pertemuan
antar tokoh agama paska berbagai kerusuhan yang bernuansa SARA, terutama berkaitan dengan
perusakan rumah ibadat di berbagai tempat di Indonesia. Banyak hal yang telah dilakukan oleh
pemerintah bersama tokoh lintas agama mengolah berbagai kebijakan pemerintah dan dibantu datanya
oleh Badan Litbang Agama. Kemudian muncul berbagai peraturan Menteri Agama, peraturan bersama
dan seterusnya sebagai wujud kebersamaan dari pemerintah dengan Pengembangan Wadah Kerukunan
dan Ketahanan Masyarakat Lokal di Kecamatan Palibelo.
Para tokoh lintas agama untuk bersama-sama mewujudkan kerukunan beragama yang menjamin
perdamaian. Pada tanggal 30 Juni 1980, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 35 tahun
1980 dibentuk Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (WMAUB). Wadah tersebut berfungsi
sebagai: Forum untuk membicarakan tanggung jawab bersama dan kerja sama antarwarga negara yang
menganut berbagai agama; Forum untuk Membicarakan kerja sama dengan pemerintah. Dalam
konsideran Surat Keputusan Menteri Agama itu dijelaskan tujuan dari WMAUB adalah: Untuk
meningkatkan pembinaan kerukunan hidup di antara sesama umat beragama demi terciptanya
kesatuan dan persatuan bangsa (Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2007: 1-2).
Pada era reformasi, dalam upaya mengantisipasi/mencegah meluasnya konflik, di berbagai
daerah terutama di zona-zona damai, secara bottom-up telah dibentuk berbagai wadah (forum)
kerukunan antar umat beragama. Di Sumatera Utara dibentuk FKAPA atau Forum Komunikasi Antar
Pemuka Agama (Kustini, 2007: 49-50), di Sulawesi Utara terdapat Badan Kerja Sama Antar Umat
Beragama (BKSAUA), dan di kecamatan-kecamatan di berbagai daerah dibentuk Forum Kerukunan
Antar Umat Beragama (FKAUB) antara lain, di Buleleng Bali (Ibid), Pahandut Kalimantan Tengah
(Ahmad, 2007: 131), Mandonga Sulawesi Tenggara (Hakim, 2007: 428) dan lain-lain. Setelah lahirnya
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006,
FKUB atau forum-forum kerukunan sejenis yang sudah dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota
disesuaikan paling lambat satu tahun sejak PBM ditetapkan 21 Maret 2006 (Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2010: 6; Lihat PBM Nomor 9 dan 8 Bab IX, Pasal 27 Ayat 2). Belakangan ini,
meskipun pada umumnya forum-forum tersebut telah menyesuaikan dengan FKUB, namun di
beberapa daerah, forum-forum kerukunan yang sudah dibentuk lebih dulu termasuk forum-forum
kerukunan di tingkat kecamatan masih ada yang dipertahankan kelangsungannya. Keberadaan FKUB
maupun forum sejenis di tingkat kecamatan tidak bertentangan dengan PBM, karena FKUB dapat
dibentuk di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa untuk kepentingan dinamisasi kerukunan, tetapi
tidak memiliki tugas formal sebagaimana FKUB tingkat provinsi dan kabupaten/ kota (Tanya Jawab
PBM Bab III, Poin 3). Keberadaan FKUB atau forum sejenis di tingkat kecamatan di beberapa daerah
sangat diharapkan oleh para tokoh agama, dengan alasan karena pada umumnya kasus/persoalan
terjadi di tingkat kelurahan/kecamatan, sementara FKUB berada di tingkat kabupaten/kota (Ahmad,
2012: 207).
Dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
Bagaimana kondisi kerukunan di daerah Kecamatan Palibelo Kabupaten Bima ? ; Bagaimana masyarakat menyadari adanya potensi konflik di wilayahnya dan berupaya untuk mengatasinya;
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui dan mendeskripsikan
kondisi kerukunan di daerah sasaran; (2) Untuk mengetahui dan mendeskripsikan potensi konflik dan
upaya untuk mengatasinya; (3) Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana masyarakat
menggunakan kearifan local (pengembangan wadah kerukunan dan ketahanan masyarakat local)
sebagai upaya mempertahankan kerukunan, mengantisipasi dan mengatasi konflik. Hasil penelitian
diharapkan dapat bermanfaat, Pertama sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam
upaya pemeliharaan kerukunan; Kedua bagi peningkatan peran masyarakat dalam pemeliharaan
kerukunan melalui revitalisasi kearifan lokal.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat studi kasus dengan menggunakan metode kualitatif dan analisis deskriptif.
Selain itu, penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Partisipatory Action Researche (PAR)
Pembentukan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal. Sasaran penelitian ini adalah
masyarakat/umat beragama di wilayah Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima, Provinsi NTB. Pemilihan
wilayah ini sebagai sasaran penelitian dikarenakan beberapa faktor. Pertama, wilayah Kecamatan
Palibelo terpencil di pegunungan dan terpisah oleh teluk dengan Kota Bima; Kedua, menurut
Koentjaraningrat sebagaimana dikutip oleh Rahman, etnis Palibelo termasuk tipe masyarakat pedesaan
dan tidak mengalami gelombang pengaruh kebudayaan luar (Rahman dan Nurmukminah, 2011: 38-
39). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: wawancara, pengamatan, studi
dokumentasi/kepustakaan dan focus group discussion (FGD). Yang disebut terakhir ini, selain sebagai
teknik pengumpulan data juga difungsikan sebagai upaya check and recheck untuk validasi data
3. PEMBAHASAN
Sejarah Asal Usul Masyarakat Palibelo
Kecamatan Palibelo merupakan salah satu kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten
Bima Provinsi NTB yang terletak di dataran Rendah setelah Gunung Londa dan Gunung dan Bukit
sepanjang Palibelo dan Belo. Wilayah Kecamatan Palibelo dibatasi oleh Dusunun Ni'u Kelurahan Dara
di sebelah utara; Kecamatan Dompu di sebelah barat; dan Kecamatan Madapangga dan Kecamatan
Bolo di sebelah selatan. Kecamatan Palibelo terdiri dari sembilan desa, yaitu: Desa Oo, Kala, Dori
Dungga, Mpili, Mbawa, Palama, Bumi Pajo, Rora, dan Ndano Nae.
Secara historis orang Bima atau Dou Mbojo dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok
penduduk asli yang disebut Dou Palibelo yang menghuni kawasan bagian barat teluk, tersebar di gunung
dan lembah. Sedangkan Kelompok kedua yang lazim disebut orang Bima atau Dou Mbojo menghuni
kawasan pesisir pantai dan merupakan suatu ras bangsa campuran dengan orang Bugis-Makasar dengan
ciri rambut lurus sebagai orang Melayu di pesisir pantai (Humas Dompu, 2015).
Dari penelitian Zollinger (1847) berpendapat bahwa Dou Palibelo (Palibelo di) dan penduduk Bima
di sebelah Timur laut teluk Bima (Dou Palibelo ele) menunjukkan karakteristik yang jelas sebagai ras
bangsa yang lebih rendah, kecuali beberapa corak yang menunjukkan kesamaan dengan orang-orang
Bima di sebelah Timur Teluk Bima.
Sedangkan penelitian Elber Johannes (1909-1910) menyimpulkan pada dasarnya orang Bima
yang tinggal disekitar ibukota ada ras bangsa yang lebih tinggi, hidup pula ras bangsa campuran yang
bertalian dengan orang Bugis dan Makasar yaitu ras bangsa Melayu muda. Penelitian terhadap anggota
masyarakat Bima yang lebih tua menunjukkan suatu kecenderungan persamaan dengan orang sasak
Bayan di Lombok. Orang Palibelo dan Sasak Bayan memiliki kesamaan ciri yaitu berambut pendek
bergelombang, keriting, dan warna kulit agak gelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun