Bosan Aku Jadi Orang Indonesia
Disaat aku berjalan-jalan keluar rumah kemudian kutelusuri trotorar Kota
Kudapati pemandangan menyesakkan
volume kendaraan yang mungkin jumlahnya sudah sebanyak manusia di Negeri ini
250 juta kata data statistika total manusia, mungkin tiap kepala punya lebih dari 1 kendaraan pribadi
Dan lagi anak-anak bayi yang sudah berumur 12 tahun sudah merengek minta di belikan motor buat berangkat sekolah tiap hari
Para pekerja baru pula sudah membayar kredit mobil-mobil mahal yang ingin dipakai buat bergaya
Bagaimana mungkin ini bisa terjadi secepat ini ?Â
Kota-kota kini jadi saksi kejamnya globalisasi
Gengsi manusia jika tak punya mobil
Malu jika tak punya motor
Sengsara jika tak mampu membunyikan klakson mobil baru di desanya saat pulang
Kini di Saat kau menghirup udara rasa-rasanya sudah bercampur dengan bau-bau limbah industri, kabut-kabut buatan manusia juga tak pernah usai
Kini di saat kau menatap kedepan sana tak ayal terlihat hanya barisan gedung-gedung yang sudah bisa menutupi matahari
Kini di saat kau lengah sedikit saja seluruh benda berharga bisa hilang sekejap tergantikan dengan kemewahan yang kalap
Kini saat kau membuka berita di televisi, setiap hari ada saja orang yang mati terbunuh
Dan lagi berita-berita para "peseni " yang tidak penting untuk dicampuri jadi berita nomor "sici" uniknya masyarakat menikmati, sampai ada yang ikut-ikutan membenci, mencaci, seolah suara mereka terdengar oleh obyek yang di caci
Lalu dengan penuh keragu-raguan aku kembali melanjutkan perjalanan
Di sana di beberapa warung pinggir jalan menjadi kantor keliling para peminta-minta
Dengan modal pakaian lusuh, wajah memelas, dan suara serak dibuat-buat
dalam sehari mungkin saja para "pebisnis belas kasih" ini mengumpulkan uang lebih banyak daripada yang di kumpulkan para dosen dalam 2 jam memberi materi hingga mulut berbusa-busa
Mungkin saja penghasilan pebisnis belas kasih ini bisa lebih banyak daripada omset penjual es keliling di sekolah-sekolah dasar hingga keringatnya mengering di sore hari
Mungkin saja penghasilan para penjual sembako di pasar tak mampu menjangkau hasil kerja keras para pebisnis belas kasih ini dalam sehari
Dengan begini aku semakin bersedih, sembari terus berdiri mengamati perilaku para pebisnis belas kasih di depan sana
Mereka cukup pandai dalam memainkan perasaan pelanggan
Cukup dengan berdiri mematung, menggendong bayi yang terpaksa mengemis terlalu dini dengan Ibu palsunya, lalu menunggu orang-orang memberikan simpati
Oh ya simpati tidak penting, mereka hanya membutuhkan uang
Pemandangan ini sudah seringkali, setiap hari, dimanapun aku pergi pasti kudapati sosok-sosok yang sama
Pekerjaan yang sama, modal yang sama, dan motif Ekonomi dan rasa malas yang jadi motivasi
Ketika yang lain bekerja keras sedang pebisnis belas kasih hanya bisa memelas
Ketika yang lain berkeringat bercampur getir pada pekerjaan yang ditolak bos
Sedang para pebisnis belas kasih ini hanya bisa keringat bercampur khianat
Mereka mengkhianati tubuhnya yang masih sehat dan kuat
Mereka mengkhianati rambu-rambu kemanusiaan dengan berpura-pura memelas
Mereka mengkhianati perasaan para mengulur kasih yang tak tega menyaksikan mereka mengais rezeki dengan cara memuakkan seperti itu
Mereka kurang layak untuk dikatakan pekerja berat
Karena keringat mereka tak seharga dengan kerja keras para aparat yang rela berpanas-panas mengayomi rakyat
Bosan aku jadi orang Indonesia, jika hanya pemandangan seperti ini yang menjadi kenyataan sehari-hari
Tapi aku tahu Indonesia bukan obyek kebosanan yang tepat
Indonesia adalah harga mati yang dihadiahkan oleh para pendahulu yang telah tewas
Tidak..... Sepertinya aku tidak bosan jadi orang Indonesia
Aku hanya muak dengan sesama orang Indonesia yang seringkali saling sikatÂ
rambu-rambu persatuan tidak lagi menjadi batas, asal kepentingan sudah bulat, tak usahlah ada akal sehat
biarkan sang garuda berbicara, bahwa Indonesia kini dihuni orang-orang yang sudah pandai berkhianat
Malang, 13 Agustus 2017