Dalam beberapa artikel sebelumnya, penulis mengulas tentang hal-hal buruk yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur secara umum, khususnya yang terjadi di daerah saya, Kabupaten Manggarai.
Contoh judul artikel yang pernah ditulis misalnya: "Mahalnya "Belis" Perempuan Manggarai, Penghargaan atau Perdagangan Perempuan?", "Bertahun-tahun Bekerja di Sawah, Kenapa Ekonomi Petani Manggarai Tidak Berkembang?", dll.
Kali ini penulis membahas perihal salah satu budaya yang menurut saya cukup unik dan menarik, yakni budaya "Teing Hang" (memberi makan arwah). "Teing" Â dalam bahasa Manggarai artinya memberi dan "Hang" artinya makanan. Jadi, "Teing Hang" artinya memberi makanan.
Ritual "Teing Hang" (memberi makan) arwah yang sudah meninggal biasanya dilakukan dalam berberbagi kesempatan khusus. Misalnya ketika diadakan acara PENTI (syukuran atas hasil panen), WAGAL (pernikahan adat), WUAT WAI (pembekalan bagi yang mau merantau: kuliah atau kerja) dan acara NTAUNG WERU (malam tahun baru).
Barangkali pembaca beranggapan bahwa acara memberi makan arwah dalam budaya Manggarai bertentangan dengan agama. Sebab, orang meninggal pasti tidak lagi membutuhkan makanan jasmani.
Untuk itu, pembaca perlu membaca ulasan ini sampai tuntas, jangan setengah-setengah ya hahaha
Sebelumnya, penulis perlu memberikan gambaran bahwa hewan yang menjadi korban dalam acara memberi makan arwah, yakni "Manuk Bakok" (Ayam Putih) dan "Manuk Lalong Sepang" (Ayam Jantan Berwarna). Namun, hanya diambil bagian tertentu saja, yakni hati dan pahanya. Hati dan paha ayam dibakar, lalu dicampur dengan nasi yang masih panas.
Nah, sebelum makanan tersebut disajikan kepada arwah, TONGKA (juru bicara) biasanya akan menyebut nama arwah tersebut satu persatu dan memanggil mereka untuk menikmati makanan tersebut.
Setelah makanan diberikan, seluruh keluarga yang berkumpul juga akan menikmati makan malam dan bersuka cita bersama.
3 makna  budaya "Teing Hang" arwah sebagai berikut: