Kehendak untuk berkuasa (The will to power) merupakan konsep yang sangat penting dalam filsafat Nietzche. Ia mengembangkan konsep ini dari Scopenhauer dan kehidupan masyarakat yunani kuno. Schopenhauer mengadopsi dari gagasan Timur dan berkesimpulan bahwa alam semesta ini dikendalikan oleh kehendak buta. Kehendak ini secara positif diakatakan sebagai kehendak pelestarian diri tetapi secara negatif berarti juga tindakan saling membunuh [Sumber 1]. Meski demikian, Nietzche melihat ada kekuatan besar dalam gagasan ini dan kemudian menerapkannya dalam kaitan dengan kehidupan manusia. Manusia menurutnya didorong salah suatu kehendak untuk berkuasa. Semua tindakan manusia berasal dari kehendak ini. Bahkan dia mengatakan: Â "Dunia ini adalah kehendak- untuk- Berkuasa---dan tak lebih dari itu! Dan Anda sendiri pun adalah Kehendak-untuk-Berkuasa ini---dan tak lebih dari itu! [Sumber 2].
Kehendak untuk berkuasa yang dimaksudkan Nietzche adalah daya-daya vital yang ada di dalam diri manusia yang membuat manusia menjadi aktif dalam menjalani kehidupannya, dan sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa, Â manusia dapat menciptakan dan menata dunia secara baru. Dunia menjadi bermakna karena manusia dengan kemampuannnya dapat menafsir semua hal yang ada dan menjadikannya manusiawi.
Selain itu, kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk bertanggung jawab penuh atas kehidupannya. Dengan demikian manusia akan memiliki mentalitas tuan yang memiliki keberanian dan bertangggung jawab terhadap segala keputusan yang diambilnya. Manusia jangan pernah  memiliki mentalitas seperti budak yang kaku, takut, pesimis dan selalu berharap pada orang lain untuk memperoleh kebahagiaan. Mentalitas seperti itulah yang dimiliki oleh orang-orang kristiani dan budhisme pada abad ke-19. Mereka sangat terikat oleh aturan-aturan dan hukum moral dalam agama pada saat itu.
Barangkali kita bertanya, apakah kehendak untuk berkuasa yang dimaksudkan Nietzche  juga berkaitan dengan politik. Hemad penulis, Nietczhe bukanlah seorang pemikir politik. Justru sebaliknya, dia sangat membenci politik dan negara. Negara baginya dapat menghambat manusia untuk merealisasikan dirinya secara penuh. Hal ini bertolak dari sebuah fakta bahwa negara memiliki banyak peraturan dan kewajiban moral yang membatasi manusia untuk bertindak atas dasar kehendak untuk berkuasa.
Apresiasi  Terhadap  Nietzche
Dalam hidupnya, Nietzche selalu dirong-rong oleh rasa sakit. Walaupun demikian, dia tetap mampu menulis dengan baik selama hidupnya. Tulisan-tulisannya tidak sistematis tetapi berbentuk aforisme, yaitu ungkapan-ungkapan singkat yang harus dipahami artinya. Menurut penulis, sangat jarang ada orang ataupun pemikir-pemikir di zaman modern yang mampu menuangkan ide-idenya secara cemerlang manakala orang itu ditempa oleh rasa sakit. Kemampuan inilah yang membuat saya kagum dengan tokoh ini dan patut kita berikan apresiasi kepadanya.
Ada banyak orang yang mengklaim bahwa tulisan-tulisan Nietzche itu aneh, bodoh dan sangat kontradiktif. Tetapi justru pemikirannyalah yang sangat berpengaruh pada masyarakat modern. Pada abad ke-20, pengaruh pemikiran Nietzche amat terasa di daratan Eropa, di mata para pemikir seperti Heidegger, Jacques Derrida, Foucault, dan masih ada tokoh-tokoh lainnya, Nietzche dianggap sebagai seorang "nabi". Beragam bidang kehidupan mulai dari arsitektur, filsafat, seni sampai dengan fashion mengambil inpirasi dari ide-idenya yang kreatif dan cemerlang. Pemikiran-pemikirannya selalu terasa segar baru dan sangat mencerahkan. Di dalam bidang psikologi, Nietzche mengangkat aspek-aspek hewani dan ketidaksadaran manusia yang kemudian memberikan inspirasi bagi Freud untuk mengembangkan psikoanalisisnya.
Singkatnya, pemikiran-pemikiran Nietzche membuat manusia di zaman ini semakin mampu mengaktulisasikan dirinya sesuai dengan kemampuan yang ada di dalam dirinya. Ide-ide yang mencerahkan itu membuat manusia semakin kreatif dalam mencipta dan mampu menafsir dunia secara benar serta memberikan makna terhadap kehidupannya di dunia ini.
Sumber Bacaan:
[1] Wibowo, A. Setyo. 2004. Gaya Filsafat Nietzche. Yogyakarta: Kolosani.