Pendahuluan: Ketika Ramadhan Berubah Menjadi Festival Belanja
Ramadhan dikenal sebagai bulan penuh berkah, saat umat Islam berusaha meningkatkan ibadah, menahan hawa nafsu, serta memperbanyak amal kebaikan. Namun, jika kita melihat tren beberapa tahun terakhir, ada fenomena yang cukup kontras: Ramadhan justru menjadi momen belanja terbesar dalam setahun.
Dari pusat perbelanjaan yang membludak hingga e-commerce yang berlomba-lomba menawarkan diskon fantastis, kebiasaan belanja masyarakat di bulan suci ini tampak berlawanan dengan nilai utama Ramadhan, yaitu pengendalian diri.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran rumah tangga selama Ramadhan meningkat 20--30% dibandingkan bulan-bulan lain. Laporan Nielsen juga mencatat bahwa sektor ritel mengalami lonjakan penjualan hingga 50% menjelang Idul Fitri. Tren ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah peningkatan konsumsi ini semata-mata karena kebutuhan, atau ada faktor lain seperti budaya, strategi pemasaran, dan pengaruh psikologi yang turut berperan? Untuk memahami lebih dalam, mari kita telusuri bagaimana pola konsumsi selama Ramadhan berkembang, bagaimana kapitalisme memanfaatkan momen ini, dan bagaimana Islam memandang perilaku konsumtif yang berlebihan.
---
1. Mengapa Konsumsi Meningkat Drastis Saat Ramadhan?
Ada tiga faktor utama yang berkontribusi terhadap lonjakan konsumsi selama bulan Ramadhan:
1.1 Faktor Ekonomi: THR & Peningkatan Daya Beli
Salah satu alasan paling jelas adalah adanya Tunjangan Hari Raya (THR) yang diterima banyak pekerja. Pemasukan ekstra ini sering kali menjadi alasan untuk meningkatkan pengeluaran, baik untuk kebutuhan pribadi maupun keluarga.
Di sisi lain, bisnis ritel melihat Ramadhan sebagai "musim panen" dan memanfaatkannya dengan berbagai strategi pemasaran, mulai dari diskon besar-besaran hingga promosi eksklusif bertema Ramadhan.