Ketika Kesempurnaan Masih Ingin Diperbaiki: Ibadah atau Inovasi?
Bayangkan seorang seniman besar telah menyelesaikan sebuah lukisan maha karya. Setiap detailnya sempurna, setiap warna, setiap goresan telah mencapai titik keindahan tertinggi. Kemudian, datang seorang amatir dengan kuasnya dan mulai menambahkan coretan-coretan "penyempurnaan". Apa yang terjadi? Lukisan itu rusak, bukan?
Begitulah ibaratnya ketika manusia mencoba menambah atau mengurangi ajaran yang sudah sempurna dalam Islam. Islam telah diturunkan dalam bentuk yang lengkap dan final, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an:
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu." (QS. Al-Ma'idah: 3)
Jika sudah sempurna, mengapa masih ada yang ingin "menyempurnakan" dengan praktik-praktik baru yang tidak pernah diajarkan Rasulullah ?
Bid'ah: Ketika Manusia Merasa Lebih Pintar dari Rasulullah
Bid'ah seringkali hadir dengan dalih memperindah ibadah, menambah semangat keagamaan, atau sebagai "jalan baru" menuju kedekatan dengan Allah. Namun, pertanyaannya: Adakah yang lebih paham tentang ibadah dibanding Rasulullah ? Jika suatu amalan benar-benar mendekatkan kita kepada Allah, mengapa Rasulullah tidak mengajarkannya?
Para sahabat, yang merupakan manusia terbaik setelah para nabi, tidak berani menambah atau mengurangi ajaran Islam. Mereka memahami bahwa setiap tambahan dalam agama bukanlah perbaikan, tetapi penyimpangan. Rasulullah sendiri bersabda:
"Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak." (HR. Bukhari & Muslim)
Namun, di zaman sekarang, justru muncul "pembaharu" yang merasa perlu menambahkan ritual baru, bacaan tambahan dalam doa, dan tata cara ibadah yang tidak memiliki dasar. Apakah mereka merasa lebih memahami Islam daripada Rasulullah dan para sahabatnya?
Contoh Nyata: Ketika Bid'ah Mengantarkan pada Kesesatan