Namun, seperti halnya teknologi baru lainnya, tantangan tetap ada. Misalnya, tanpa peer review tradisional, kualitas dan kredibilitas riset bisa dipertanyakan. Ada juga risiko eksploitasi, seperti proyek fiktif yang hanya mengumpulkan dana tanpa hasil nyata.
3. Sudut Pandang Ahli dan Masyarakat
Dr. Sarah Hamburg, peneliti bioteknologi di Universitas Cambridge, berpendapat:
"DeSci membuka peluang besar bagi ilmuwan independen. Di Indonesia, ini bisa memberi peluang bagi banyak peneliti muda yang kurang mendapat dukungan dari lembaga besar."
Namun, ada juga kekhawatiran dari Prof. James Wilson dari Oxford:
"Jika semua orang bisa mengunggah riset ke blockchain tanpa filter, bagaimana kita bisa memastikan riset tersebut valid dan tidak menyesatkan?"
Masyarakat Indonesia pun memiliki pandangan yang beragam. Sebagian mendukung, terutama komunitas peneliti atau pasien penyakit langka yang berharap DeSci dapat mempercepat penelitian. Namun, sebagian lagi meragukan, menganggap DeSci hanya tren sementara yang berbau kripto.
4. Data dan Fakta Pendukung
Menurut data Nature, lebih dari 70% peneliti di negara berkembang, termasuk Indonesia, kesulitan mengakses jurnal ilmiah berbayar.
VitaDAO telah mendanai lebih dari 25 proyek riset terkait kesehatan dengan total investasi lebih dari $12 juta.
Survei oleh DeSci Foundation menunjukkan bahwa 40% ilmuwan muda tertarik untuk beralih ke model pendanaan berbasis komunitas, yang bisa menjadi peluang besar untuk riset Indonesia.
DeSci adalah angin segar yang bisa membuka pintu bagi dunia sains yang lebih inklusif dan transparan. Bagi peneliti Indonesia, DeSci bisa menjadi jalan keluar dari keterbatasan pendanaan dan akses ke jurnal ilmiah. Namun, meskipun penuh potensi, gerakan ini tetap perlu pengawasan dan kontrol yang matang agar tidak disalahgunakan. Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda setuju jika ilmu pengetahuan menjadi lebih terbuka untuk masyarakat luas, atau ada aspek-aspek tertentu yang harus tetap dijaga? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar!