Mohon tunggu...
Suherman
Suherman Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh Harian Lepas

Semoga Bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sharenting adalah Infeksi Digital Yang Menyebabkan AIN: Ancaman Nyata Bagi Masa Depan Anak

29 Januari 2025   07:37 Diperbarui: 29 Januari 2025   07:37 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak-anak (Sumber: Photo by Annie Spratt on Unsplash )

Di era digital, sharenting---kebiasaan orang tua membagikan momen anak-anak mereka di media sosial---telah menjadi fenomena yang tak terhindarkan. Mulai dari foto pertama sekolah hingga video lucu saat bermain, semua terunggah dengan mudahnya. Namun, di balik gemerlap "like" dan komentar pujian, ada bahaya laten yang mengintai: Ancaman Infeksi Digital, atau yang saya sebut sebagai AIN (Ancaman Infeksi Digital). AIN bukan hanya tentang keamanan data, tetapi juga tentang dampak psikologis, sosial, dan bahkan fisik yang bisa menghancurkan masa depan anak.

Sharenting mungkin terlihat tidak berbahaya, tetapi ketika privasi anak dipertaruhkan untuk kepuasan sesaat orang tua, kita sedang membuka pintu bagi bahaya yang jauh lebih besar. Ini bukan sekadar masalah etika, melainkan krisis yang bisa mengancam generasi mendatang.

Mari kita jujur: sharenting adalah bentuk eksploitasi yang halus. Orang tua mungkin merasa bangga membagikan momen berharga anak mereka, tetapi apakah mereka pernah bertanya pada anak: "Apakah kamu setuju foto atau video ini dibagikan ke ribuan, bahkan jutaan orang?" Jawabannya hampir selalu tidak. Anak-anak, terutama yang masih kecil, tidak memiliki kapasitas untuk memahami konsekuensi dari tindakan ini. Mereka menjadi objek tanpa suara, dipajang untuk memuaskan ego orang tua atau memenuhi ekspektasi sosial.

Yang lebih mengkhawatirkan, sharenting menciptakan jejak digital permanen yang bisa disalahgunakan oleh pihak tak bertanggung jawab. Bayangkan: foto anak Anda yang lucu bisa diunduh, dimodifikasi, dan disebarluaskan untuk tujuan yang tidak terpuji. Atau, informasi pribadi seperti nama, tanggal lahir, dan lokasi sekolah bisa digunakan untuk kejahatan siber. Ini bukan lagi sekenario paranoid---ini adalah realitas yang terjadi setiap hari.

Apakah kita sudah terlalu egois sebagai orang tua? Apakah "like" dan komentar pujian di media sosial lebih penting daripada keselamatan dan privasi anak kita sendiri? Atau, jangan-jangan, kita sedang menciptakan bom waktu yang suatu hari nanti akan meledak di wajah mereka?

Pertanyaan retoris ini perlu diajukan karena sharenting bukan hanya tentang kebiasaan---ini tentang tanggung jawab. Setiap kali kita mengunggah foto anak, kita sedang mempertaruhkan masa depan mereka. Apakah kita siap menghadapi konsekuensinya ketika mereka tumbuh dewasa dan menyadari bahwa hidup mereka telah dipamerkan ke dunia tanpa izin?

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, orang tua perlu menyadari bahwa privasi anak adalah hak yang tidak boleh dikorbankan. Sebelum mengunggah foto atau video, tanyakan pada diri sendiri: "Apakah ini benar-benar perlu dibagikan? Apa dampaknya bagi anak saya di masa depan?"

Kedua, platform media sosial harus mengambil tanggung jawab lebih besar. Mereka bisa menciptakan fitur yang memungkinkan orang tua membagikan konten secara terbatas, hanya untuk keluarga dan teman dekat. Selain itu, edukasi tentang bahaya sharenting harus menjadi bagian dari kampanye kesadaran digital.

Ketiga, kita perlu mengubah paradigma. Daripada menjadikan anak sebagai objek konten, mengapa tidak fokus pada momen yang benar-benar privat? Nikmati kebersamaan dengan anak tanpa harus membagikannya ke dunia. Ingat, momen terindah adalah yang tidak perlu dibagikan untuk diakui.

Menurut sebuah studi oleh Universitas Michigan, 56% orang tua membagikan informasi yang memalukan tentang anak mereka di media sosial. Sementara itu, 27% mengunggah foto atau video yang bisa membahayakan privasi anak. Data ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa 70% anak yang menjadi korban sharenting merasa malu atau tidak nyaman ketika mereka dewasa dan menemukan konten tentang diri mereka di internet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun