Indonesia baru saja menyaksikan sebuah babak baru dalam sejarah pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus presidential threshold, sebuah aturan yang selama ini membatasi partai politik untuk mengajukan calon presiden. Keputusan ini, alih-alih disambut gegap gempita sebagai kemenangan demokrasi, justru memunculkan pertanyaan krusial: apakah ini benar-benar membebaskan demokrasi, atau justru memangkasnya dengan cara yang lebih halus?
Selama ini, presidential threshold dianggap sebagai mekanisme untuk menjaga stabilitas politik. Dengan hanya partai atau koalisi partai yang memiliki kursi signifikan di parlemen yang boleh mengajukan calon, polarisasi ekstrem dan fragmentasi politik diharapkan dapat dihindari. Namun, di sisi lain, aturan ini juga dituding sebagai alat oligarki untuk melanggengkan kekuasaan, menutup pintu bagi munculnya tokoh-tokoh alternatif yang berpotensi membawa perubahan.
Penghapusan threshold ini membuka peluang bagi semua partai, bahkan yang kecil sekalipun, untuk ikut berkompetisi dalam pemilihan presiden. Sekilas, ini terdengar sangat demokratis. Bayangkan, semakin banyak pilihan, semakin besar pula kesempatan rakyat untuk memilih pemimpin yang benar-benar mewakili aspirasi mereka. Namun, benarkah demikian?
Mari kita berandai-andai. Dengan dihapuskannya threshold, bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan puluhan calon presiden yang berlomba-lomba memperebutkan kursi nomor satu. Kampanye akan berubah menjadi ajang orasi tanpa substansi, dipenuhi janji-janji bombastis yang sulit diukur. Publik akan kebingungan memilih di antara sekian banyak opsi, yang pada akhirnya justru berpotensi memunculkan apatisme politik. Bukankah ini justru antitesis dari demokrasi yang sehat?
Lebih jauh lagi, penghapusan threshold berpotensi memunculkan politik transaksional yang lebih masif. Partai-partai kecil, yang sadar betul tidak memiliki kekuatan untuk memenangkan pemilu sendirian, akan berlomba-lomba menawarkan diri sebagai "kendaraan" bagi para kandidat yang punya modal besar. Proses pencalonan presiden bisa jadi ajang jual beli dukungan, di mana idealisme dan visi-misi kalah telak oleh pragmatisme kekuasaan.
Lantas, apa solusinya? Apakah kita harus kembali ke sistem lama yang dianggap membatasi demokrasi? Tentu tidak. Kita membutuhkan sebuah mekanisme baru yang mampu menyeimbangkan antara stabilitas politik dan partisipasi publik yang luas. Salah satu opsi yang patut dipertimbangkan adalah penguatan sistem kepartaian. Partai politik harus didorong untuk berbenah diri, menjadi organisasi yang solid dan berbasis ideologi yang jelas, bukan sekadar perkumpulan elit yang berorientasi pada kekuasaan.
Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat juga mutlak diperlukan. Rakyat harus didorong untuk berpikir kritis, tidak mudah tergiur oleh janji-janji manis para politisi. Dengan masyarakat yang cerdas dan partisipatif, politik transaksional dan manipulasi kekuasaan akan sulit berkembang.
Penghapusan presidential threshold bukanlah akhir dari segalanya. Ini justru awal dari sebuah tantangan baru bagi demokrasi Indonesia. Apakah kita mampu memanfaatkan momentum ini untuk membangun sistem politik yang lebih adil dan inklusif, atau justru terjerumus ke dalam kekacauan dan pragmatisme yang lebih dalam? Jawabannya ada di tangan kita semua. Inilah saatnya untuk berdiskusi, berdebat, dan mencari solusi terbaik bagi masa depan bangsa. Jangan biarkan demokrasi kita dipangkas, apalagi dibebaskan tanpa arah yang jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H