Mohon tunggu...
Suherman
Suherman Mohon Tunggu... Lainnya - Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Rakyat Biasa yang Hobi Membaca dan Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Mengapa Pemecatan Shin Tae-yong Lebih dari Sekadar Kesalahan Strategi?

6 Januari 2025   14:29 Diperbarui: 7 Januari 2025   13:31 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shin Tae-Yong dipecat PSSI(KOMPAS.com/Firzie A. Idris)

Pemecatan Shin Tae-yong dari kursi pelatih tim nasional Indonesia bukan sekadar berita olahraga biasa; ini adalah potret dari bagaimana kita, sebagai bangsa sepak bola, terus tersandung oleh siklus ambisi yang sering kali tidak didukung oleh strategi jangka panjang. Apakah ini keputusan bijak? Ataukah kita hanya menjadi korban kebiasaan lama yang gemar membakar rumah hanya karena api di dapur?

Shin Tae-yong telah membawa angin segar sejak kedatangannya pada 2020. Ia berani merombak tradisi dengan memberikan ruang bagi pemain muda, membangun fondasi yang lebih segar dan menjanjikan. Tapi apa yang terjadi kemudian? Di bawah tekanannya, kita meraih pencapaian signifikan seperti final Piala AFF 2020 dan kebangkitan semangat sepak bola nasional. Lalu, hanya karena satu-dua turnamen gagal mencapai harapan, ia harus angkat kaki. Ini bukan sekadar pemecatan; ini adalah pembongkaran visi yang bahkan belum sempat mencapai puncaknya.

Kesuksesan bukanlah tujuan instan, melainkan hasil dari kesabaran dan proses yang konsisten.

Mari kita bicara soal target: Piala Dunia 2026. Ambisi yang luar biasa, tapi apakah realistis? Ketika Shin Tae-yong dipekerjakan, ia bukanlah juru selamat yang bisa menyulap tim ini menjadi juara dunia dalam lima tahun. Ia adalah arsitek yang ditugaskan untuk membangun pondasi kokoh bagi generasi sepak bola berikutnya. Apakah kita benar-benar percaya bahwa mengganti pelatih setiap kali harapan tidak tercapai adalah jalan menuju sukses? Ataukah ini hanya pola lama, di mana setiap kegagalan menjadi alasan untuk menuding satu orang tanpa introspeksi yang lebih dalam?

Keputusan PSSI ini memancing pertanyaan mendalam tentang budaya sepak bola kita. Mengapa pelatih selalu menjadi kambing hitam? Bukankah akar masalah sebenarnya jauh lebih kompleks? Infrastruktur, pembinaan usia dini, hingga mentalitas pemain adalah bagian dari ekosistem yang harus kita benahi bersama. Pemecatan Shin Tae-yong, jika tidak disertai perubahan sistemik, hanya akan menjadi epilog tragis dari drama yang sudah sering kita tonton sebelumnya.

Dalam sepak bola, perubahan besar memerlukan keberanian untuk bertahan dalam proses panjang.

Jika kita melihat ke negara-negara seperti Jepang atau Belgia, transformasi sepak bola mereka tidak terjadi dalam semalam. Jepang, misalnya, membutuhkan lebih dari dua dekade untuk membangun sistem sepak bola yang matang, mulai dari pembinaan usia dini hingga infrastruktur kelas dunia. Belgia, dengan "Golden Generation"-nya, tidak muncul begitu saja. Itu adalah hasil dari visi jangka panjang yang diterapkan dengan konsistensi. Apakah Indonesia siap menempuh jalan yang sama?

Namun, di sisi lain, langkah ini juga bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa PSSI ingin hasil cepat. Tapi inilah provokasinya: apakah kita benar-benar menginginkan hasil instan yang rapuh atau membangun tim dengan visi jangka panjang yang kokoh? Keputusan ini tampaknya lebih didasarkan pada tekanan publik dan politisasi olahraga ketimbang evaluasi objektif terhadap visi Shin Tae-yong.

Politik olahraga di Indonesia sering kali menjadi kendala utama. Tekanan dari berbagai pihak, mulai dari sponsor hingga tuntutan publik, sering kali mengaburkan keputusan yang sebenarnya strategis. Apakah ini benar-benar demi kemajuan tim nasional, atau hanya langkah untuk meredakan kritik sementara?

Bagaimana jika, alih-alih terus mengganti pelatih, kita mulai bertanya: apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung pelatih dan pemain? Bagaimana media, sponsor, dan publik bisa memainkan peran mereka dalam menciptakan ekosistem sepak bola yang lebih sehat? Pemecatan Shin Tae-yong seharusnya menjadi katalis untuk diskusi mendalam tentang arah sepak bola Indonesia, bukan sekadar headline panas yang hilang begitu saja.

Kini, semua mata tertuju pada siapa yang akan menjadi pengganti Shin. Namun, pertanyaannya bukan hanya siapa, tetapi bagaimana. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa pelatih berikutnya tidak hanya menjadi korban berikutnya dari sistem yang belum sepenuhnya siap untuk bertransformasi?

Mungkin, inilah saatnya kita berhenti menuntut hasil instan dan mulai menanam benih kesabaran. Karena dalam sepak bola, seperti dalam hidup, kemenangan sejati tidak datang dari keputusan impulsif, tetapi dari visi yang konsisten dan kerja keras yang tidak pernah lelah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun