Mohon tunggu...
Suherman
Suherman Mohon Tunggu... Lainnya - Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Rakyat Biasa yang Hobi Membaca dan Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Money

PPN 12%: Antara Kebutuhan Negara dan Beban Rakyat

25 Desember 2024   15:07 Diperbarui: 25 Desember 2024   15:07 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kenaikan Pajak (source: Dalle)

Baru-baru ini, muncul diskusi hangat tentang rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Isu ini memicu berbagai pendapat, baik pro maupun kontra, di kalangan masyarakat. Banyak yang merasa langkah ini tidak adil, terutama dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi. Di sisi lain, pemerintah menganggap kebijakan ini sebagai langkah penting untuk mendukung anggaran negara.

Latar Belakang Kebijakan

Kenaikan PPN ini sebenarnya sudah disahkan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021. Dalam pasal 7 UU tersebut, dijelaskan bahwa PPN akan naik dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, dan selanjutnya menjadi 12% pada tahun 2025. Kebijakan ini dirancang untuk meningkatkan pendapatan negara setelah terpukul oleh pandemi COVID-19.

Namun, banyak pihak mempertanyakan urgensi kenaikan ini. Dengan ekonomi yang masih dalam tahap pemulihan, langkah ini dianggap membebani masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. PPN bersifat regresif, yang berarti pajak ini berlaku sama bagi semua lapisan masyarakat, tanpa memandang tingkat pendapatan mereka. Akibatnya, dampaknya akan lebih terasa pada masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan mereka yang lebih mampu.

Perspektif Pemerintah

Pemerintah menyatakan bahwa kenaikan PPN adalah salah satu cara untuk memperluas basis pajak, terutama untuk menjangkau sektor ekonomi informal yang selama ini sulit terdata. Dengan mekanisme PPN, pelaku usaha kecil dan sektor informal yang tidak membayar Pajak Penghasilan (PPh) tetap berkontribusi melalui pajak yang dibebankan pada konsumsi mereka.

Selain itu, pemerintah juga menekankan bahwa langkah ini penting untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam beberapa tahun terakhir, APBN telah digunakan secara agresif untuk menangani pandemi, memberikan subsidi, dan mendukung program pemulihan ekonomi. Peningkatan pendapatan dari pajak dianggap sebagai solusi jangka panjang untuk menjaga stabilitas fiskal.

Tantangan dan Kritik

Meskipun alasan pemerintah dapat dimengerti, banyak pihak yang merasa kebijakan ini kurang mempertimbangkan kondisi masyarakat. Saat ini, tax ratio Indonesia masih berada di sekitar 10%, jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Vietnam yang mencapai 22%. Rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia menjadi salah satu masalah utama.

Sebagian besar pajak saat ini berasal dari kalangan menengah, terutama karyawan yang pajaknya dipotong secara otomatis. Sementara itu, banyak pelaku usaha di sektor informal yang pendapatannya besar tetapi tidak membayar pajak. Ketimpangan ini membuat kelas menengah merasa menjadi "tulang punggung" utama negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun