Mohon tunggu...
Suherman
Suherman Mohon Tunggu... Lainnya - Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Bukan Apa-apa dan Bukan Siapa-siapa ☺️

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menggeser Paradigma: Pendidikan sebagai Instrumen Transformasi Sosial di Era Post-Modernisme

18 Desember 2024   07:50 Diperbarui: 18 Desember 2024   07:50 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Transformasi Sosial Source: Dalle


Pendidikan selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas, bukan? Dalam ruang-ruang diskusi intelektual, pendidikan bukan hanya soal menghafal fakta atau mempelajari rumus. Ia lebih besar dari itu. Pendidikan adalah alat transformasi sosial, ruang di mana individu dan masyarakat bertemu untuk berdialog, untuk saling memengaruhi. Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya, apakah cara kita mendidik hari ini benar-benar mencerminkan dunia yang terus berubah? Dunia yang semakin kompleks, semakin cair, dan penuh dengan kebutuhan untuk berpikir kritis dan menghargai keberagaman?

Paulo Freire, seorang pemikir besar, pernah mengatakan bahwa pendidikan sejati adalah pembebasan. Bagi Freire, pendidikan bukan sekadar "mengisi wadah kosong." Dia menolak keras konsep yang disebutnya banking education, di mana siswa dianggap sebagai pihak pasif yang hanya menerima ilmu dari atas. Sebaliknya, ia mengusulkan sebuah dialog egaliter---guru dan siswa sama-sama belajar, sama-sama bertanya, dan sama-sama mencari jawaban. Namun, jika kita jujur, banyak sistem pendidikan hari ini masih terjebak dalam logika lama. Siswa diperlakukan seperti produk di jalur perakitan, disiapkan untuk menjadi bagian dari mesin ekonomi.

Lalu ada wacana tentang dekolonisasi pendidikan, yang juga tak kalah penting. Selama ini, narasi Barat sering menjadi pusat dalam kurikulum kita. Kita belajar banyak tentang revolusi industri di Eropa, tetapi bagaimana dengan kisah-kisah perjuangan lokal yang membentuk identitas kita? Dekolonisasi pendidikan bukan berarti kita menolak semua hal dari Barat, tetapi bagaimana kita memberi tempat pada pengetahuan lokal. Misalnya, filosofi hidup seperti gotong royong atau nilai-nilai adat yang kaya makna. Pendidikan seharusnya menjadi ruang di mana berbagai perspektif bertemu, antara sains modern dan kebijaksanaan tradisional, antara logika Barat dan nilai-nilai komunitas lokal.

Di sisi lain, teknologi juga membawa dimensi baru dalam dunia pendidikan. Dengan internet dan kecerdasan buatan, kini siapa pun bisa belajar di mana saja. Ada platform seperti Coursera atau EdX yang memungkinkan kita mengikuti kelas dari universitas terbaik di dunia tanpa meninggalkan rumah. Tetapi teknologi juga punya sisi gelap. Apakah benar semua orang mendapat manfaat yang sama? Atau justru teknologi ini memperlebar jurang antara mereka yang punya akses dan yang tidak?

Lalu kita bicara soal humaniora. Di tengah gairah mengejar STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika), ilmu-ilmu humaniora seperti filsafat atau sastra kerap dipinggirkan. Padahal, di sinilah kemampuan berpikir kritis dan reflektif diasah. Martha Nussbaum, seorang filsuf terkemuka, pernah memperingatkan bahwa ketika pendidikan terlalu fokus pada utilitas ekonomi, kita kehilangan kemampuan untuk memahami keberagaman manusia, untuk berpikir secara etis.

Yang menarik, pendidikan juga tidak pernah lepas dari politik. Antonio Gramsci pernah menulis bahwa pendidikan adalah alat hegemoni, cara sebuah ideologi dominan mempertahankan kekuasaannya. Di Indonesia, kita juga sering melihat bagaimana kurikulum menjadi medan tarik-menarik antara berbagai kepentingan. Tapi di balik itu semua, ada potensi besar. Pendidikan tidak hanya bisa menjadi alat untuk mempertahankan status quo, tetapi juga alat untuk melawan, untuk menciptakan narasi baru yang lebih inklusif dan demokratis.

Masa depan pendidikan tidak bisa terus berputar di sekitar paradigma industri, di mana manusia hanya dilihat sebagai alat produksi. Seperti yang dikatakan Jean-Franois Lyotard, kita perlu merayakan narasi-narasi kecil, cerita-cerita yang mungkin selama ini dianggap tak penting. Pendidikan harus mampu merangkul keberagaman, mendorong kolaborasi lintas budaya, dan membangun pendekatan yang lebih interdisipliner.

Pada akhirnya, pendidikan bukan sekadar alat untuk mendapatkan pekerjaan atau menghasilkan angka-angka ekonomi. Ia adalah proyek filosofis yang terus berkembang, sebuah upaya untuk memahami apa artinya menjadi manusia. Pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah: apakah kita siap mendefinisikan ulang pendidikan kita? Atau akankah kita tetap bertahan pada cara-cara lama yang kaku, yang semakin tidak relevan? Pilihan itu ada di tangan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun