Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Refleksi Satu Tahun Menjadi Content Writer: Antara Merdeka Lewat Kata atau Menyerah di Jalan yang Sunyi

5 Januari 2025   11:37 Diperbarui: 5 Januari 2025   11:51 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Meja Kerja seorang Content Writer (Pexels/Junjira Konsang)

Menjadi content writer selama satu tahun penuh adalah sebuah perjalanan yang tidak hanya berkutat dengan dunia tulisan, ketik mengetik, akan tetapi sebuah perjalanan spiritual tentang menanamkan jiwa kedalam barisan kalimat. Di awal perjalanan, semangat seringkali meluap-luap tentang ide-ide gila nan cemerlang yang terus melompat-lompat seperti riak air di sungai yang sedang deras. Kegiatan menyusun cerita, mengolah fakta-fakta, hingga merangkai kata-kata manis menggugah serta mengikat pembaca merupakan pengalaman yang sangat menyenangkan. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, ada realitas yang nyata dan tidak dapat dihindari: ternyata dunia ini penuh dengan krikil tajam yang siap menguji mental kita.

Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa di luar sana masih dapat ditemukan fakta bahwa minat baca semakin hari semakin merosot. Statistik yang terus menghantui kepala mengatakan bahwa orang lebih suka menggulirkan layar ponselnya untuk melihat video-video pendek ketimbang membaca artikel yang panjang. Dari sini lah saya sebagai seorang yang bisa dibilang sebagai salah satu content writer sering kali bertanya-tanya "Apakah ada yang benar-benar membaca tulisan ini?" setiap kali berhasil menyelesaikan satu artikel, dan hal ini membuat perasan yang seperti berbicara pada ruang kosong, hanya begema tanpa memberikan jawaban yang pasti.

Ada masanya di mana kegundahan datang seperti hujan yang tiba-tiba dimalam hari. Ketika tulisan-tulisan yang telah susah payah diselesaikan dengan sepenuh hati hanya sekedar dilihat sekilas. Bahkan ketika statistik menunjukan hasil yang berupa angka yang cukup menyakitkan. Ketika upayah yang telah kita curahkan untuk mengikat pembaca dengan diksi-diksi yang kreatif hanya seperti angin yang berlalu begitu saja. Disaat-saat seperti inilah terbesit pemikiran dan pertanyaan: Apakah aku berhenti saja?

Akan tetapi, ada saja hal-hal menarik yang membangkitkan kembali semangat menulis kita tidak padam, seperti kabar manis dipagi hari ketika tulisan yang telah kita buat berhasil lolos di meja editor maupu kurator tempat kita mengirim tulisan kita, atau satu komentar yang sederhana di blog pribadi yang kita buat: "Tulisanmu menyentuhku", merupakan bahan bakar baru untuk membakar kembali semangat dalam dunia ini serta menghapuskan rasa lelah yang telah kita curahkan. Ini semua bukanlah hanya tentang jumlah kalkulasi pembaca yang mampir diplatfrom tempat kita mempublish tulisan, namun tentang kata-kata yang memiliki kekuatan untuk merdeka dalam menyembuhkan setiap luka, baik dari sisi si penulis maupu si pembaca itu sendiri. Karena biarlah kata-kata merdeka dengan gayanya tersendiri.

Jika mengutip kalimat yang dikemukakan oleh Alm. Jokpin (Joko Pinurbo) bahwa "Menjadi penulis merupakan jalan yang sunyi" maka memang benar jalan ini begitu sunyi sepi. Tidak ada sorak sorai, tidak ada tepuk tangan yang meriah, hanya ada keheningan yang paling sunyi. Akan tetapi, dibalik keheningan itulah content writer menemukan makna yang tersembunyi. Menulis merupakan perayaan atas kesendirian, tempat yang dimana kita dapat untuk memahami diri sendiri, serta dunia sekitar kita. Pada tekanan zaman yang lebih mengutamakan kepada visual, menjadi penulis merupakan bentuk perlawanan kecil terhadap arus besar ini.

Mungkin memang benar bahwa minat baca sedang menukik tajam ke dalam jurang paling dalam, akan tetapi kata-kata akan tetap abadi dalam relung jiwa. Serta untuk mereka-mereka yang benar-benar mencintai dunia tulisan akan selalu menemukan cara serta jalanya sendiri, tak peduli seberapa jarang mereka muncul. Maka kembali lagi kita kepertanyaan yang paling dasar: apakah lebih baik berhenti dan menyerah, atau terus melangkah menyusuri jalan yang sunyi sepi ini? Jawabanya hanyalah satu, tanyakan kembali kehati mu, dan biarkan ia menuntun mu.

Untuk saya sendiri, satu tahun ini ialah sebuah pembuktian kecil bahwa meskipun jalan ini begitu sunyi dan sepi, jalan ini selalu memberikan keindahan dan cerita-cerita yang menakjubkan untuk saya. Meski seringkalih dihantam dengan perasaan yang gundah-gulana, kata-kata akan tetap menjadi teman yang baik dan abadi. Meskipun terkadang ingin menyerah itu menghampiri, namun selalu ada semacam dorongan kecil yang membisiki diri. "Tulislah,meski hanya untuk dirimu sendiri!". Karena pada akhirnya, menulis bukan hanya untuk terkenal, atau mencari keuntungan berupa material saja, melainkan soal menemukan kebebasan di balik kata-kata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun