Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Seni

Tahun Baru: Merayakan atau Hanya Impulsif Buying Berkedok Self-Reward?

28 Desember 2024   14:00 Diperbarui: 28 Desember 2024   14:00 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Happy New Yers (Pexels/Anna T)

Tahun baru sering kali menjadi waktu yang penuh harapan dan resolusi baru. Banyak dari kita merasa bahwa momen pergantian tahun adalah saat yang pas untuk merayakan pencapaian, atau bahkan melupakan segala stres dan kesulitan yang dialami sepanjang tahun. Salah satu cara yang sering dipilih adalah dengan bepergian, berlibur, atau sekadar menikmati waktu di tempat-tempat yang lebih "menyenangkan". Namun, apakah merayakan tahun baru dengan jalan-jalan benar-benar sebuah keputusan yang bijak? Atau, apakah ini hanya impulsif buying yang dibungkus dengan alasan positif seperti self-reward?

Pertama-tama, mari kita bahas tentang impulsif buying. Di era digital yang serba terhubung ini, godaan untuk membeli sesuatu atau melakukan perjalanan jauh bisa datang begitu saja. Iklan-iklan di media sosial, penawaran tiket pesawat murah, atau promosi hotel yang menggoda, sering kali menjadi pemicu kita untuk bertindak terburu-buru. Bahkan, banyak dari kita yang akhirnya memutuskan untuk berlibur hanya karena melihat tawaran menarik tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau anggaran dengan matang.

Fenomena ini tidak hanya soal membeli barang impulsif, tetapi juga tentang bagaimana kita membuat keputusan yang berdasarkan pada dorongan sesaat, yang sering kali datang dari luar diri kita. Media sosial, misalnya, bisa sangat mempengaruhi keputusan kita untuk bepergian di tahun baru. Lihat saja, hampir setiap orang memamerkan liburan mereka, menikmati waktu di pantai atau di tempat-tempat mewah. Terkadang, kita merasa tertekan untuk ikut serta, karena takut ketinggalan atau merasa tidak cukup "terlihat" jika tidak merayakan dengan cara yang serupa.

Namun, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah perjalanan itu benar-benar kita butuhkan, ataukah hanya merupakan bentuk pengeluaran yang tidak perlu untuk mengikuti tren? Kita sering kali lupa untuk menilai apakah perjalanan itu akan memberikan kepuasan jangka panjang atau justru hanya bersifat sementara. Perjalanan tersebut mungkin bisa memberi kita kebahagiaan sesaat, tetapi apakah itu benar-benar memberikan kedamaian atau pembelajaran yang mendalam? Atau, apakah kita hanya terjebak dalam siklus impulsif buying, yang pada akhirnya hanya membuat kita merasa lebih lelah, baik secara finansial maupun emosional?

Di sisi lain, banyak orang yang menganggap perjalanan di tahun baru sebagai bentuk self-reward. Setelah bekerja keras sepanjang tahun, kita merasa berhak untuk memberikan penghargaan kepada diri sendiri, dan liburan menjadi pilihan yang cukup umum. Ada rasa pencapaian ketika kita merasa bisa menikmati waktu di tempat yang jauh dari rutinitas sehari-hari, mengunjungi destinasi yang diinginkan, atau sekadar menikmati suasana baru.

Namun, sering kali konsep self-reward ini juga perlu dipertanyakan. Self-reward bukanlah sekadar memberikan hadiah dalam bentuk konsumsi atau pengalaman material. Self-reward yang sejati adalah memberi diri kita ruang untuk refleksi, perbaikan diri, dan penerimaan akan apa yang telah kita capai. Apakah benar-benar self-reward jika kita hanya melarikan diri dari kenyataan dengan cara yang konsumtif? Bukankah self-reward yang lebih bermakna adalah menemukan kedamaian dalam diri sendiri tanpa harus mengeluarkan banyak uang atau mengejar kepuasan yang bersifat sementara?

Tahun baru bisa menjadi waktu yang sempurna untuk berhenti sejenak dan merenung. Bukan hanya soal merayakan apa yang telah dicapai, tetapi juga tentang mengakui tantangan yang telah dilewati dan merencanakan langkah-langkah ke depan. Sebuah perjalanan fisik ke tempat-tempat indah mungkin akan memberi kita ketenangan sejenak, namun sejatinya perjalanan yang lebih bermakna adalah perjalanan batin untuk mengenal diri sendiri lebih dalam, menerima kekurangan, dan merayakan segala pencapaian, besar atau kecil.

Mungkin, merayakan tahun baru tidak harus selalu identik dengan perjalanan jauh atau pengeluaran besar. Ada banyak cara untuk merayakan pergantian tahun dengan cara yang lebih sederhana dan lebih bermakna. Sebagai contoh, kita bisa merayakan tahun baru dengan berkumpul bersama keluarga atau teman-teman terdekat, berbagi cerita dan refleksi sepanjang tahun yang telah berlalu. Atau, kita bisa meluangkan waktu untuk diri sendiri, beristirahat, dan merencanakan tujuan di tahun yang akan datang. Momen-momen seperti ini sering kali lebih memberi kepuasan dan kedamaian, tanpa perlu melibatkan pengeluaran besar.

Lebih dari itu, perayaan tahun baru yang tidak didorong oleh dorongan impulsif juga memberikan kesempatan bagi kita untuk mengevaluasi kebiasaan konsumtif yang selama ini kita jalani. Banyak dari kita terjebak dalam pola pikir bahwa kebahagiaan hanya bisa didapatkan melalui konsumsi dan pengeluaran besar. Padahal, kebahagiaan sejati sering kali ditemukan dalam hal-hal sederhana yang kita nikmati setiap hari. Merayakan tahun baru bisa berarti memberi ruang bagi diri kita untuk merayakan hidup dalam bentuk yang lebih alami dan tulus, bukan berdasarkan tren atau pengaruh luar yang sering kali tidak mencerminkan kebutuhan atau keinginan sejati kita.

Jadi, apakah tahun baru harus dirayakan dengan jalan-jalan sebagai impulsif buying berkedok self-reward? Tidak selalu. Tahun baru adalah waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi diri, merenung tentang pencapaian dan kegagalan, serta merencanakan masa depan yang lebih baik. Tentu saja, bepergian dan menikmati liburan adalah pilihan yang sah, tetapi itu bukan satu-satunya cara untuk merayakan pergantian tahun. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa membuat keputusan yang lebih sadar, berdasarkan pada kebutuhan kita yang sesungguhnya, bukan hanya karena dorongan dari luar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun