Hari Guru Nasional selalu menjadi momen untuk merenungkan peran besar para guru sebagai pembentuk generasi bangsa. Dalam ungkapan yang tak lekang oleh waktu, mereka disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa." Namun, di masa sekarang, menjadi guru bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga bertahan di tengah berbagai tantangan, salah satunya adalah kriminalisasi terhadap profesi yang mestinya dihormati ini.
Mengajar di Tengah Ketakutan
Mengajar adalah seni mentransfer ilmu, nilai, dan karakter. Namun, di masa kini, ada beban yang sering membayangi para guru: ketakutan akan kriminalisasi. Kesalahan kecil, baik dalam mendisiplinkan siswa atau menjalankan tugas mengajar, bisa saja berujung pada laporan hukum. Dalam beberapa kasus, guru menghadapi tekanan dari orang tua siswa yang menganggap tindakan disipliner sebagai bentuk kekerasan, tanpa memahami konteks pendidikan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana bisa guru mendidik dengan penuh dedikasi jika selalu dihantui rasa takut? Di satu sisi, mereka dituntut untuk menjadi panutan, mendidik dengan cinta, dan menghadirkan solusi. Namun, di sisi lain, setiap langkah mereka seolah diawasi dengan lensa yang mencari kesalahan.
Dilema Guru di Masa Modern
Guru sering kali menjadi pelindung terakhir ketika anak-anak kehilangan bimbingan di rumah. Mereka mendidik bukan hanya soal akademik, tetapi juga membentuk karakter. Namun, kenyataannya, tak semua pihak memahami kompleksitas ini. Tidak sedikit orang tua yang melepaskan tanggung jawab pengasuhan kepada sekolah, berharap guru menjadi segalanya bagi anak-anak mereka.
Di sisi lain, sistem pendidikan yang birokratis kerap membebani guru dengan tumpukan administrasi yang menyita waktu. Alih-alih fokus pada pengajaran, mereka terpaksa berkutat dengan laporan-laporan yang sering kali tidak relevan dengan kebutuhan siswa. Ini adalah dilema yang memperlihatkan bagaimana perjuangan guru hari ini lebih berat daripada yang dibayangkan.
Panggilan Hati di Tengah Kekacauan
Meski demikian, banyak guru yang tetap menjalani profesinya dengan penuh keikhlasan. Bagi mereka, menjadi guru bukan sekadar pekerjaan, tetapi panggilan hati. Setiap kali seorang murid berhasil memahami pelajaran, tumbuh menjadi individu yang mandiri, atau bahkan kembali mengucapkan terima kasih setelah bertahun-tahun, di situlah letak kepuasan sejati seorang guru.
Namun, keikhlasan mereka tidak boleh terus-menerus dimanfaatkan tanpa perlindungan yang memadai. Pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat perlu bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman bagi para guru. Regulasi yang melindungi guru dari kriminalisasi yang tidak adil harus diperkuat, sehingga mereka bisa bekerja tanpa rasa takut.