Guru, profesi yang sejak dulu dipandang mulia, kini sering kali terabaikan kesejahteraannya. Berbagai cerita tentang pengabdian para guru honorer tersebar di mana-mana, terutama soal perjuangan mereka hidup dari gaji yang tidak seberapa. Ketika gaji guru honorer tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, bahkan terkadang memaksa mereka berutang, muncul sebuah pertanyaan yang tak terhindarkan: sampai kapan mereka harus berlapang dada?
Tidak sedikit guru honorer yang, dalam percakapan dengan pedagang kaki lima, mendapati ironi pahit. Mereka mendengar pedagang berkata, "Lebih baik jadi pedagang kaki lima daripada jadi guru honorer." Dengan berdagang, pendapatan mereka lebih pasti dan lebih mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, untuk sebagian besar pedagang, pendapatan harian mungkin masih lebih layak dibandingkan dengan gaji seorang guru honorer yang hanya diterima sebulan sekali dan kadang besarnya pun jauh dari harapan.
Ada sebuah kesedihan dalam realita ini. Guru yang sehari-hari bertugas mencerdaskan generasi bangsa harus rela menerima penghasilan minim, bahkan kurang untuk kebutuhan dasar seperti makan, tempat tinggal, dan biaya hidup lainnya. Sementara itu, profesi yang tidak terkait langsung dengan pendidikan justru dapat memberikan penghidupan yang lebih layak. Kondisi ini membuat beberapa guru merasa bahwa pengorbanan mereka seolah-olah kurang dihargai oleh masyarakat dan pemerintah.
Lantas, mengapa guru masih terus bertahan? Tentu saja, bagi sebagian besar guru, menjadi pendidik bukan hanya tentang materi. Ada panggilan jiwa yang membuat mereka bertahan, ada idealisme bahwa pendidikan yang baik adalah modal utama untuk memperbaiki kondisi bangsa. Tetapi, sampai kapan idealisme itu akan terus bertahan jika kesejahteraan mereka sendiri tidak terjamin? Berapa lama lagi mereka harus "berlapang dada" dan terus bekerja dengan ikhlas sementara kebutuhan hidup mereka kian mendesak?
Berbicara tentang gaji, seharusnya sudah jelas bahwa guru layak mendapatkan penghasilan yang manusiawi. Beberapa negara bahkan memberikan insentif khusus kepada guru, terutama yang mengajar di daerah terpencil, untuk memastikan kesejahteraan mereka terjamin. Sayangnya, di Indonesia, banyak guru honorer yang masih harus menunggu kepastian setiap bulan apakah gaji mereka akan dibayarkan tepat waktu atau tidak. Ditambah lagi, mereka juga tidak memiliki tunjangan yang memadai seperti pegawai negeri lainnya.
Jika pemerintah benar-benar serius dalam meningkatkan kualitas pendidikan, maka gaji guru harus menjadi prioritas utama. Pendidikan bukan hanya soal ruang kelas dan materi pelajaran, tetapi juga soal kesejahteraan para pendidik yang berada di baliknya. Bagaimana kita bisa berharap pada seorang guru untuk memberikan yang terbaik jika hidupnya sendiri penuh dengan ketidakpastian?
Selain pemerintah, masyarakat pun perlu lebih menghargai profesi guru, tidak sekadar memberi pujian kosong sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa." Sudah saatnya kita menuntut adanya kebijakan konkret yang memihak kesejahteraan guru honorer. Mereka bukanlah sekadar angka dalam statistik pendidikan, tetapi manusia yang berjuang setiap hari dengan berbagai keterbatasan.
Kesejahteraan guru bukan hanya persoalan guru itu sendiri, tetapi juga berkaitan langsung dengan masa depan generasi penerus bangsa. Jika kesejahteraan guru meningkat, maka mereka akan lebih termotivasi dalam mengajar, lebih fokus pada perkembangan siswa, dan tidak lagi merasa terbebani oleh kebutuhan finansial yang selalu mendesak. Pada akhirnya, seluruh masyarakat akan merasakan dampaknya, karena pendidikan yang berkualitas adalah kunci untuk membangun bangsa yang kuat dan berdaya saing.
Jadi, sampai kapan guru harus berlapang dada? Jawabannya ada pada kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H