bahasa dan filsafat selalu memainkan peran penting yang sering terabaikan. Bayangkan dua sosok orang tua, ayah yang tegas dengan kata-katanya yang tajam, dan ibu yang penuh kasih dengan keraguan dan pertanyaan yang menggugah. Bahasa, sang ayah, menjadi fathers of science, sementara filsafat, sang ibu, menjadi mother of science. Keduanya bersama-sama membentuk fondasi yang memungkinkan sains berkembang pesat seperti yang kita kenal sekarang.
Dalam perjalanan panjang manusia memahami alam semesta,Di masa Yunani Kuno, bahasa memegang peranan vital dalam menyebarkan pemikiran. Bangku-bangku terbuka di agora dipenuhi oleh filsuf dan cendekiawan yang berdiskusi tentang asal-usul dunia dan hukum-hukum alam. Seorang pria berdiri di tengah kerumunan, dengan suara lantang membahas teorema dan gagasan yang menggugah pikiran para pendengarnya. Ia adalah Aristoteles, tokoh besar yang gagasannya merintis jalan untuk hampir setiap cabang ilmu pengetahuan yang kita pelajari saat ini. Bagaimana ia bisa melakukannya? Tentu dengan bahasa, dengan untaian kata-kata yang menembus ruang dan waktu, hingga generasi kita bisa mendengar gema pemikirannya.
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, ia adalah fondasi logika dan struktur berpikir. Tanpa bahasa, gagasan tak bisa ditransformasikan menjadi pengetahuan kolektif. Ketika para ilmuwan menulis penemuan mereka, ketika mereka mengajarkan teori-teori rumit kepada mahasiswa, dan ketika diskusi ilmiah berlangsung dalam konferensi di seluruh dunia, bahasa menjadi darah yang mengalirkan ilmu pengetahuan. Ia adalah ayah yang menjaga sains tetap hidup dan berkembang, memberinya suara dan ekspresi.
Namun, di sisi lain, ada sosok lembut yang tak kalah penting, yaitu filsafat. Filsafat adalah ibu yang melahirkan pertanyaan-pertanyaan penting yang kerap mengganggu pikiran manusia: Mengapa kita ada? Apa yang membentuk realitas? Bagaimana kita tahu bahwa yang kita ketahui itu benar? Dari zaman Yunani kuno hingga masa modern, filsafat selalu menanamkan benih keingintahuan yang tak pernah puas. Ren Descartes, filsuf terkenal, duduk di tengah malam dengan lilin menyala, merenungkan keberadaan dirinya. "Cogito, ergo sum," katanya-Aku berpikir, maka aku ada. Ia menanamkan keraguan yang sehat, memicu pemikiran kritis yang kemudian melahirkan metode ilmiah.
Filsafat adalah pangkuan tempat sains merenung dan meragukan dirinya sendiri. Ia menantang batas-batas yang dipahami manusia, memastikan bahwa sains tidak menjadi sekadar ritual tanpa jiwa, melainkan perjalanan yang terus-menerus mencari kebenaran. Saat Albert Einstein menggagas teori relativitasnya, ia tidak hanya bertanya soal matematika dan fisika, tetapi juga soal hakikat ruang dan waktu, pertanyaan-pertanyaan filsafat yang sudah mengakar sejak lama.
Dalam interaksi ini, bahasa dan filsafat bersinergi membentuk keseimbangan yang dinamis. Bahasa memastikan ilmu pengetahuan bisa disampaikan dan dipelajari, sementara filsafat menjaga agar pencarian ini selalu dipertanyakan dan diperbaharui. Bayangkan sains tanpa bahasa; ia hanya akan menjadi kumpulan penemuan bisu, sebuah kebijaksanaan yang terkubur tanpa pernah dibagi. Sebaliknya, sains tanpa filsafat akan kehilangan arahnya, terjebak dalam rutinitas yang kaku tanpa keberanian untuk melihat ke luar batas-batas yang sudah ditetapkan.
Dan begitulah, bahasa dan filsafat-ayah dan ibu dari ilmu pengetahuan-merawat dan menumbuhkan sains agar selalu relevan. Bersama-sama, mereka melahirkan generasi pemikir yang tak hanya ingin tahu, tetapi juga siap mempertanyakan, merangkai, dan menyebarkan pengetahuan untuk kemajuan umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H