Di sudut kamar kecil yang remang, cahaya lampu meja berkedip lemah menerangi selembar kertas dan pena yang tergeletak di atas meja kayu usang. Awan, seorang penyair yang terkenal dengan kata-katanya yang indah dan manis, duduk di sana sendirian. Kepalanya tertunduk, tangannya memegang pena dengan lemah. Di sekelilingnya, tumpukan puisi dan catatan memenuhi lantai, sementara dinding kamar itu terasa semakin sempit dengan keheningan yang menekan.
Namun, di balik semua itu, di balik keindahan kata-kata yang ia tulis untuk dunia, ada sesuatu yang berbeda. Jauh di dalam dirinya, hatinya sedang meringis. Tidak ada yang tahu bahwa setiap puisi yang ia tulis penuh dengan kebahagiaan dan cinta, lahir dari derita yang tak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun. Awan adalah penyair pembohong. Ia merangkai kata-kata manis di saat hatinya hancur, di saat pikirannya dipenuhi oleh kebisingan, dan di saat jiwanya terperangkap dalam penderitaan yang tak pernah usai.
Hari itu, Awan duduk diam menatap kertas kosong di depannya. Sudah berhari-hari ia tidak menulis, tapi perasaan perih dalam hatinya semakin menekan, memaksa dirinya kembali mengalirkan kata-kata. Ia tahu, menulis adalah satu-satunya pelariannya. Ia menemukan obat dari luka-lukanya di antara bait-bait puisi, namun ironisnya, setiap puisi yang ia tulis semakin memperdalam luka itu sendiri.
Tangannya mulai bergerak perlahan. Pena yang ia pegang mulai menari di atas kertas, menuliskan kalimat-kalimat penuh harapan dan kebahagiaan. Ia menulis tentang cinta yang sempurna, tentang kebahagiaan yang abadi, tentang hidup yang penuh dengan keindahan. Namun, setiap kata yang ia tulis terasa semakin berat, semakin menekan hatinya. Setiap huruf adalah kebohongan, tapi ia tidak bisa berhenti. Sebab, menulis adalah satu-satunya cara ia bisa bertahan.
Awan tidak pernah jujur dalam tulisannya. Bagi dunia, ia adalah penyair yang penuh cinta, yang mampu menggambarkan kebahagiaan dengan begitu indah. Tapi bagi dirinya sendiri, ia adalah penyair pendusta. Setiap kata yang ia tulis adalah cerminan dari kebohongan yang ia pelihara. Di balik puisi-puisinya yang penuh cinta, ia adalah orang yang terperangkap dalam nestapa.
Ia tahu bahwa banyak orang memujanya. Banyak orang menemukan inspirasi dalam puisi-puisi yang ia ciptakan, namun hanya sedikit yang tahu tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Awan tersenyum pahit setiap kali orang-orang memuji betapa indahnya kata-kata yang ia susun. Mereka tidak tahu bahwa di balik setiap pujian, ada luka yang semakin dalam. Di balik setiap kalimat manis, ada penderitaan yang ia cumbu setiap malam.
Awan memandang ke sekeliling kamarnya yang penuh sesak. Ranjang di sudut kamar tampak tua dan rapuh, seperti dirinya. Ia ingat betapa seringnya ia terjaga sepanjang malam, tidak bisa tidur karena pikirannya terus bergolak. Di sanalah ia berbaring, memeluk luka-lukanya sendiri, menyusun kembali puing-puing perasaannya yang hancur. Dan dari tempat itulah, dari ranjang yang kian meringkih, ia terus merangkai kata-kata penuh kebahagiaan untuk menutupi segala deritanya.
Di dalam kesunyian malam, Awan sering bertanya pada dirinya sendiri, mengapa ia terus melakukan ini. Mengapa ia terus menulis kebohongan, ketika hatinya ingin menjeritkan kebenaran? Ia tahu jawabannya. Karena tanpa kebohongan itu, ia tidak akan mampu bertahan. Tanpa menulis, ia akan tenggelam dalam luka-lukanya sendiri, dan ia takut bahwa jika ia berhenti, dunia akan melihat kerapuhan sejatinya.
"Bagaimana bisa aku berhenti?" gumamnya dalam hati, saat ia menatap puisi terakhir yang baru saja ia tulis.
Puisi itu, seperti yang lainnya, penuh dengan keindahan. Tentang cinta yang sempurna, tentang kehidupan yang bahagia. Tapi Awan tahu bahwa semua itu tidak nyata. Semua itu hanya simbol dari keputusasaan yang ia coba sembunyikan.