Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ketika Romantisasi Kesehatan Mental di Kalangan Gen Z Mulai Keblinger

18 Agustus 2024   15:29 Diperbarui: 18 Agustus 2024   15:37 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mental Health (Pexels: Deniel)

Sebagai bagian dari generasi Z, aku benar-benar menghargai betapa pentingnya menjaga kesehatan mental. Keterbukaan dalam membicarakan topik ini adalah sebuah langkah maju yang luar biasa, terutama mengingat bagaimana generasi sebelumnya sering kali merasa malu atau tabu untuk membahasnya. Namun, ada satu fenomena yang belakangan ini mulai membuatku risau: bagaimana sebagian dari kita, Gen Z, cenderung terlalu meromantisasi isu kesehatan mental.

Aku sering melihat di media sosial bagaimana gangguan mental seperti kecemasan, depresi, atau bahkan burnout diubah menjadi semacam tren. Hal ini membuatku tidak nyaman, karena seolah-olah masalah kesehatan mental dijadikan sebagai bagian dari identitas yang ingin ditampilkan kepada dunia. Memang, ada baiknya kita semua lebih terbuka dalam berbicara tentang perasaan kita, namun ketika setiap perasaan cemas atau sedih langsung dilabeli sebagai "mental illness," itu bukan lagi sekadar curahan hati---melainkan sudah menjadi bentuk dramatisasi yang tidak sehat.

Romantisasi kesehatan mental ini bisa membuat kita kehilangan fokus pada hal yang lebih penting: bagaimana kita bisa benar-benar membantu mereka yang sedang berjuang melawan gangguan mental. Bukannya membanjiri media sosial dengan postingan yang memperindah kesedihan atau kecemasan, kita seharusnya lebih banyak berdiskusi tentang langkah konkret untuk mendukung teman-teman kita yang benar-benar membutuhkan bantuan.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah, romantisasi ini sering kali membuat masalah kesehatan mental tampak seperti sesuatu yang "indah" atau "artistik." Realitanya, bagi mereka yang benar-benar mengalami gangguan mental, ini adalah perjuangan berat yang jauh dari kata indah. Mereka tidak membutuhkan validasi palsu atau semacam pengakuan dari publik; yang mereka butuhkan adalah dukungan nyata, akses ke perawatan yang memadai, dan pemahaman yang lebih mendalam dari orang-orang di sekitar mereka.

Sebagai generasi yang terkenal dengan keterbukaan dan keberanian dalam menghadapi isu-isu sensitif, Gen Z punya potensi besar untuk menciptakan perubahan positif dalam cara kita memandang kesehatan mental. Namun, kita juga harus bijak dalam menyikapi tren ini. Daripada ikut-ikutan meromantisasi masalah yang serius, kita seharusnya fokus pada hal yang lebih bermakna: menciptakan lingkungan yang mendukung, mengedukasi diri dan orang lain, serta mendorong mereka yang membutuhkan untuk mencari bantuan profesional.

Mari kita hentikan romantisasi yang berlebihan dan mulai bergerak menuju pemahaman yang lebih sehat dan realistis tentang kesehatan mental. Hanya dengan begitu kita bisa benar-benar menjadi generasi yang kuat, sehat, dan penuh empati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun