Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Manusa biasa yang tak berharap apa-apa

Bergerak di literasi jalanan (Perpustakaan Jalanan) Bambu Pena Indramayu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen : Pria Misterius

8 Mei 2022   08:30 Diperbarui: 8 Mei 2022   08:31 1501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Entah sudah berapa bulan semenjak dia wanita yang ku puja mengikat janji setia dengan pria pilihan orang tuanya. Setiap senja sudah sempurna dilangit semesta, aku selalu pergi berkelana menaiki sepedah tua peninggalan ayah mencari kedai kopi terpahit yang bisa dibuat barista dikota. Seperti biasa kedai kopi langganan tempat sempurna menikmati senja dengan segelas kopi beserta garpit yang tak pernah terusik dengan pelanggan lain. Sore itu barista yang selalu hafal pesanan ku tak pernah banyak cakap ia hidangkan segalanya sebagai ciri khas ku itu.

Senja pun yang agung selalu menggambarkan senyuman manis mu sebelum kau pergi ke pelaminan, masih ku ingat jelas pada saat itu ketika kamu memberi kabar bahwa kamu esok akan dilamar oleh pria pilihan orang tua mu. Aku diam seribu bahasa, aku sadar betul rezeki ku sebagi penyair tidak jelas, tidak seperti pria pilihan orang tua mu sorang PNS yang sudah jelas penghasilannya hingga hari tuanya. Semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, begitupun orang tua ku, maka ku terima dengan ikhlas walapun lara yang ku terima.

Kamu menangis melihat keputusan ku yang pasrah akan keadaan, kau memberikan ku ide untuk nikah lari dengan ku. Ku jawab dengan berusaha tabah, sesuatu yang dimulai dengan cara tidak baik maka akan berakhir tidak baik pula. Kamu semakin menangis tanpa suara, keharuan itu pun terpecah ketika nada dering telpon mu berbunyi keras. Telpon dari orang tua mu yang memintamu segera pulang dan bersiap untuk segala acara lamaran mu esok. Ya malam ini adalah malam perpisahan kita, malam terakhir aku dan kamu bertemu sebelum esok kau dilamar olehnya. Orang tua mu mengizinkan kamu untuk bertemu untuk terakhir kalinya dengan ku, aku pun mengiyakan ajakan mu untuk bertemu, ku siapkan sepucuk surat salam perpisahan yang jauh dari kata romantis,

Setelah kamu mengangkat telpon itu, ku antarkan kamu pulang kerumah dengan sepeda butut warisan ayah ku. Ya memang tak ada lagi harta yang ku punya selain sepedah ontel, bukan sepeda motor hanya sepeda ontel tua peninggalan penjajah belanda. Sepeda yang bersejarah bagi keluarga ku, namun itu bukan keinginan orang tua mu.

***

Lamunan ku buyar ketika barista yang selalu menyiapkan pesanan ku setiap senja telah terlukis indah di semesta. Ia memperkenalkan dirinya setelah entah sudah berapa senja yang ku lalui ketika menikmati secangkir kopi terpahit yang ia buat dan sebungkus garpit. Aku hanya mengangguk dan menjabat tangannya, setelah itu ia mengajak ku bercakap cakap ringan tentang kisah cintanya kepada wanita yang ia puja. Aku dengan takzim mendengarkan ceritanya, sembari menikmati kopi dan garpit ku yang telah ia sajikan.

Azan magrib terdengar sayup-sayup dari bilik surau dekat kedai kopi, rokok garpit ku sisa sebatang dan kopi ku sudah habis secangir menemani perbincangan ringan antara aku dan barista kedai kopi itu. Ia menawiri ku untuk secangkir kopi lagi, aku mengeleng lembut seraya berkata cukup segelas air putih saja. Ia lantas beranjak pergi mengambilkan segelas air putih. Kembali ku bakar batang terakhir garpit ku, selepas ia kembali aku berkata dengan lembut nasihat ayah mu kepadanya.

cinta mu padanya begitu besar, sudah cukup kau memendam segala rasa sayang mu kepadanya, kini waktunya kau melangkah serius. Lamar lah dia, agar kau tidak merana sendiri. cukup saya yang bertindak bodoh menyia nyiakan waktu mencintai wanita, hingga ia sudah dipersunting oleh orang lain” ucap ku kala itu.

Setelah ku habiskan garpit ku, dan membayar pesanan ku. Kembali aku pergi berkelana entah kemana. Menikmati dinginya angin malam mencaci semesta yang bajingan, menulis puisi cinta yang entah untuk siapa :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun