Insinyur Indonesia, Energi Terbarukan dan Ekonomi Hijau
Dr.-Ing. Suhendra. Dosen, Konsultan, Anggota PII dan VDI (Verein Deutscher Ingineure/ Asosiasi Insinyur Jerman)
Konferensi Persatuan Insinyur Indonesia (PII) sukses diselenggarakan pada 5-6 Desember lalu di Yogyakarta. Sebagai wadah profesi yang menaungi ribuan insinyur di tanah air, maka konferensi PII lalu menjadi momen epik dalam menguatkan tekad bangsa menuju kemandirian teknologi nasional. Dalam bayangan tantangan perubahan geopolitik dan krisis iklim, forum yang penuh semangat inovasi ini diwarnai arus utama tekad para insinyur penjuru negeri membahas solusi visioner menghadapi tantangan global tersebut. Dengan mengusung komitmen bersama, PII menegaskan bahwa Indonesia tidak hanya siap menghadapi masa depan, tetapi juga menjadi pelopor dalam membangun peradaban yang berkelanjutan.
Setelah sepuluh tahun insinyur Indonesia membersamai banyak proyek infrastruktur yang kuat di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, maka tidak berlebihan bila di era Presiden Prabowo Subianto PII perlu berfokus menjawab tantangan global terkni: Energi Terbarukan dan Ekonomi Hijau. Ide ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam menghadapi krisis iklim global yang terus digemakan Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai forum. Di forum APEC CEO Summit di Peru, 14 November 2024, Presiden Prabowo bertekad menjadikan pengembangan teknologi sebagai ujung tombak transformasi menuju energi hijau dan pencapaian Net Zero Emissions.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden Prabowo menegaskan bahwa pengembangan teknologi akan menjadi pilar utama dalam transformasi Indonesia menuju energi hijau yang berkelanjutan, serta pencapaian Net Zero Emissions. Dengan berbagai sumber daya energi terbarukan yang berlimpah, Presiden Prabowo optimis Indonesia menjadi pelopor dalam keberlanjutan lingkungan global. Langkah ini sejalan dengan visi Indonesia menjadi negara yang berdaya saing tinggi dalam pencapaian teknologi maju.
Di sisi lain, Ekonomi Hijau adalah pendekatan pembangunan yang menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Model ini tidak hanya bertujuan menjaga keseimbangan ekosistem, tetapi juga merombak aktivitas ekonomi agar lebih inklusif dan efisien. Keberhasilannya diukur, antara lain, melalui pertumbuhan ekonomi yang tetap kokoh. Untuk periode 2025-2045, Indonesia menargetkan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7%, dengan menitikberatkan pada kebijakan rendah karbon dan penguatan ketahanan iklim. Melalui penerapan strategi Ekonomi Hijau, diharapkan dapat tercapai rata-rata pertumbuhan PDB sebesar 6,22% dalam dua dekade mendatang.
Tolak ukur keberhasilan penerapan Ekonomi Hijau tercermin dalam Green Economy Index, yang pada tahun 2020 berada di angka 59,17. Dengan implementasi yang optimal, indeks ini diproyeksikan melonjak drastis hingga mencapai 90,65 pada tahun 2045. Angka ini jauh melampaui skenario "Business-as-Usual," yang diprediksi hanya mencapai 71,26 pada periode yang sama. Lonjakan tersebut menjadi bukti nyata bahwa kebijakan Ekonomi Hijau dapat membawa Indonesia menuju pembangunan yang lebih berkelanjutan dan berorientasi pada kelestarian lingkungan.
Penerapan Ekonomi Hijau membawa dampak nyata dalam menekan emisi gas rumah kaca (GRK). Dengan kebijakan yang mendorong pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim, emisi GRK diproyeksikan turun signifikan hingga 55,65% pada 2030 dan mencapai penurunan dramatis sebesar 80,98% pada 2040. Melalui komitmen kuat, Indonesia bercita-cita untuk mencapai Net Zero Emissions pada 2060 atau bahkan lebih awal.
Infrastruktur energi terbarukan menjadi tulang punggung transisi menuju ekonomi rendah karbon dan pencapaian Net Zero Emissions. Untuk mencapainya, investasi besar-besaran diperlukan dalam pengembangan berbagai elemen penting, seperti jaringan listrik pintar, fasilitas penyimpanan energi, dan stasiun pengisian kendaraan listrik. Jaringan listrik pintar berperan sebagai penghubung strategis, memungkinkan distribusi energi yang lebih efisien sambil mendukung integrasi sumber energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin, meskipun keduanya bersifat intermittant. Di sisi lain, fasilitas penyimpanan energi menjadi solusi krusial untuk menjaga keseimbangan pasokan energi yang fluktuatif dari sumber terbarukan.
Selain infrastruktur energi, digitalisasi dan teknologi cerdas menjadi pilar penting dalam mendorong efisiensi dan inovasi di sektor industri hijau. Melalui penerapan teknologi Industri 4.0---seperti Internet of Things (IoT), sensor pintar, dan blockchain---industri dapat mengoptimalkan proses, meningkatkan transparansi, dan mendorong keberlanjutan. IoT memungkinkan pengumpulan data secara real-time, memberikan kemampuan untuk mengawasi dan mengelola sumber daya energi dengan presisi tinggi. Sementara itu, sensor pintar berfungsi sebagai alat canggih untuk memantau dan mengontrol penggunaan energi secara lebih akurat, mengurangi pemborosan, dan meningkatkan efisiensi operasional.
Indonesia menegaskan komitmennya untuk menjadikan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim sebagai inti dari strategi Ekonomi Hijau. Melalui serangkaian kebijakan progresif, negara ini berupaya menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dan memperkuat ketahanan terhadap dampak perubahan iklim, sejalan dengan visi nasional yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 dan RPJPN 2025-2045.