Mohon tunggu...
Dr Ing. Suhendra
Dr Ing. Suhendra Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, technopreneur, dosen, hobby traveller

Tinggal di Jogja, hoby travel dan baca. Sehari-hari sebagai konsultan, dosen dan pembina beberapa start-up

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Meningkatkan Nilai Gizi Mie Lethek: Upaya Mengabadikan Kuliner Leluhur Jogja

22 Februari 2024   14:44 Diperbarui: 22 Februari 2024   14:57 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mie Lethek, sebuah nama yang mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Namun bagi masyarakat Bantul, Yogyakarta, kuliner ini adalah salah satu warisan leluhur Jogja, khususnya masyrakat Bantul, yang membanggakan. Dengan ciri khas warna kusam kecokelatan, mie Lethek menyimpan cerita panjang yang terajut dalam setiap helai mie yang diproduksi.


Mie Lethek memiliki arti literal 'mie kusam' dalam bahasa Jawa, sebuah nama yang mengacu pada penampilan fisik mie tersebut yang berwarna kecokelatan. Uniknya, warna kusam ini bukan merupakan kekurangan, melainkan sebuah identitas yang membedakannya dari mie lainnya. Terbuat dari tepung tapioka yang merupakan hasil olahan singkong, Mie Lethek menjadi alternatif makanan yang lebih sehat karena rendah gluten, bahkan bisa dikategorikan gluten free.


Kalurahan Caturharjo, Pandak, Bantul, menjadi pusat produksi utama Mie Lethek. Di tempat inilah, tradisi pembuatan Mie Lethek telah turun temurun, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Tim Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang tediri dari Imam Santosa S.T., M.Sc, Dra. Siti Salamah M.Si dan Dr.-Ing. Suhendra, tergerak inisiatif untuk berbagi info teknologi tepat guna dari kampus. Harapannya, tradisi leluhur ini terjaga dengan baik bahkan dengan manfaat lebih luas bagi masyarakat.


Proses pembuatan Mie Lethek sangat tradisional dan membutuhkan ketelitian. Mulai dari pemilihan singkong berkualitas, pengolahan menjadi tepung tapioka, hingga proses pencetakan mie yang masih banyak dilakukan secara manual. Ini adalah sebuah proses yang tidak hanya membutuhkan keterampilan, tapi juga kesabaran dan dedikasi tinggi dari para pengrajin.


Mie Lethek bukan hanya tentang makanan. Ini adalah sebuah simbol perjuangan, kearifan lokal, dan harapan. Dengan meningkatkan nilai gizi, seperti penambahan omega-3 yang diusulkan oleh tim dari UAD, mie Lethek tidak hanya mempertahankan keunikan dan kelezatannya, tapi juga meningkatkan manfaat kesehatan bagi konsumennya. Harapannya, inovasi ini akan semakin mengangkat brand mie Lethek dan pada akhirnya, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan nilai ekonomi masyarakat Bantul.


Mie Lethek merupakan bukti bahwa kuliner tradisional bisa bertahan dan terus relevan di tengah perubahan zaman. Dengan nilai sejarah, proses pembuatan yang autentik, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik, Mie Lethek menjadi lebih dari sekadar makanan. Ini adalah cerita tentang identitas, warisan, dan harapan. Sebagai bagian dari kekayaan kuliner Indonesia, Mie Lethek mengajarkan kita tentang pentingnya melestarikan warisan budaya dan terus mengembangkannya untuk kebaikan bersama.

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun