Mohon tunggu...
Suhendra L. Hardi
Suhendra L. Hardi Mohon Tunggu... pendidik -

Bilai ketulusanmu tidak dihargai, balaslah ia dengan keikhlasan, lalu pergilah sejauh mungkin, tanpa pernah mengingat-ingat lagi |Menikmati Utopia Kehidupan|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketahanan Kepemimpinan

26 Agustus 2016   15:56 Diperbarui: 26 Agustus 2016   15:59 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bukan kali ini saja, sebelumnya pun demikian. Kenyataannya bahwa  dunia nyata berbeda jauh dengan dunia virtual. Di dunia nyata, orang bertemu bentuk. Sementara di dunia virtual, pada dasarnya kita bisa menjadi anonim dan berkamuflase menjadi banyak orang. Di dunia nyata, emosi dapat diidentifikasi secara fisik, tetapi di dunia virtual, keberadaan emoticon sepertinya tidak sepenuhnya mewakili perasaan manusia. Maka jika kemudian muncul lagi `hate speech` yang ditunjukan ke pimpinan negara hingga kemudian berujung secara hukum dan fisik, rasanya kita masih benar-benar mengoreksi cara pandang terhadap definisi kepemimpinan dan etika berbicara. 

Barangkali saya benar-benar awam soal ini, atau bagaiamana kaidah hukum yang mengatur soal hak berbicara masyarakat Indonesia. Tapi saya berpandangan, bahwa setiap orang punya hak kritik. Dan sebagai seorang pemimpin, entah dalam level kelompok kecil hingga sebuah negara, kepekaan terhadap kritik harusnya diapresiasi. Cara menghadapi sebuah kritik itulah yang menunjukkan seperti apa kualitas kepemimpinannya. 

Teorinya sederhana, siapa sih yang siap 100% dengan kritik, pasti meskipun terbersit atau tersimpan sebagai perasaan, tetap saja akan marah. Maka cara bersikap seseorang ketika marah itulah indikator kualitas kepemimpinan. Bila ia melawan dengan tindakan keras, saya simpulkan sistem kepemimpinannya pun adalah sitem otoriter dan anti kritik. Bila menerima dengan tangan terbuka dan merangkul, itulah teladan kepemimpinan yang dimulai dari sifat siap dikoreksi dan bersama-sama memperbaiki diri. 

Tidak berarti saya membiarkan siapapun lalu seenaknya tanpa etika dapat berbicara. Tetap saja adaa kaidah baku bahwa berbicara pun ada etikanya. Kritik sejatinya di bangun dari koreksi untuk perbaikan, sementara penghinaan berakar dari ketidak sukaan. Saya membenarkan kritik, tapi saya tidak menaruh hormat pada bentuk penghinaan. 


Apakah itu berarti saya mendukung tidak hukum berasas `hate speech`, saya kira sangat relatif. Tapi saya sangat mendukung keterbukaan terhadap kritik. Bagi kami yang masyarakat biasa, kami membangun diri untuk terbuka dengan kritik adalah keharusan, karena level kami adalah masyarakat biasa. Tapi barangkali untuk level pimpinan negara, harusnya kadar ketahanan dirinya lebih tinggi berkali lipat dari kami rakyat biasa. Semakin tinggi posisi semakin tinggi pula ketahanan yang harus dimiliki. Bahkan ketahanan dan keterbukaan terhadap penghinaan atau ujaran kebencian. 

Barangkali demikian. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun