Mohon tunggu...
Suhendra L. Hardi
Suhendra L. Hardi Mohon Tunggu... pendidik -

Bilai ketulusanmu tidak dihargai, balaslah ia dengan keikhlasan, lalu pergilah sejauh mungkin, tanpa pernah mengingat-ingat lagi |Menikmati Utopia Kehidupan|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Cara Memperhatikan Semua Anak?

26 Juni 2016   07:42 Diperbarui: 26 Juni 2016   08:53 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Suasana senggang di Masjid Ja`far Bin Abi Thalib, kami duduk melingkar mengobrol dengan santai. Menunggu waktu asar yang sekitar sepuluh menit lagi masuk. Tanggung juga bila saya kembali ke kantor, makanya kami mengobrol santai saja akhirnya.

Ada pertanyaan yang menggelitik saya, disampaikan oleh seorang siswa kepada saya. Kenapa guru itu tidak pernah mengerti perasaan kami? Tanyanya. Tentu saya cukup terkejut. Bukan disebabkan esensi pertanyaannya yang diajukan, karena saya tahu pasti saya juga dulu sering bertanya seperti itu sewaktu masih sekolah. Saya terkejut dalam artian kaget, akhirnya ada juga yang berani menyampaikan pertanyaan ini secara terbuka. Bagi saya itu keberanian yang layak diapresiasi. Bukankah mendengar kitik itu selalu membawa diri ke pada kondisi muhasabah, introspeksi, untuk dijadikan bekal memperbaiki. Tentu dengan kriteria pengkritik yang layak.

Saya minta agar diperjelas dengan contoh kasus, karena definisi `mengerti` atau `pengertian` itu masih sangat bias. Ia lalu menjelaskan beberapa kejadian di kelas yang menariknya pada kesimpulan itu, yaitu kenapa guru selalu tidak adil menilai. Jika ada pertanyaan `apakah kalian mengerti?` itu adalah pertanyaan yang dilematik, katanya. Sering ia sejujurnya tidak mengerti, tapi bila menjawab mengerti, itu berarti bohong, bila menjawab belum, khawatir memancing amarah. Maka ia merasa dalam sebuah kebingungan. Ia juga protes, harusnya seorang guru tahu dari matanya, apakah seorang anak itu benar telah paham, atau belum. Tapi kebanyakan guru langsung melewatkan begitu saja, padahal kami ingin belajar dan ingin bisa juga paham, imbuhnya lagi.

Saya menarik nafas panjang. Memikirkan bagaimana cara memberikan jawaban yang, semoga tepat. Bagi saya mungkin ini pertanyaan biasa, tapi bagi siswa ini sangat penting. Bahkan mungkin akan memengaruhi semangat belajar mereka. Secara pribadi, saya coba menggali sudut pandang saya mengenai pertanyaan ini. Karena mata pelajaran yang saya ampu bukan mata pelajaran yang menghendaki tugas tertulis dan banyak hafalan, melainkan karya dan keterampilan. Saya agak sulit membayangkan apa yang dipikirkan oleh seorang guru yang harus mengajarkan matematika di kelas, yang harus mengajar sebuah bab tentang algoritme pada berbagai jenis anak dengan kombinasi kecerdasan beragam.

Bahwa rupanya menjadi seorang guru itu tidak sesederhana cara kita memandang orang lain. Guru berada bada posisi terikat yang selalu dituntut. Saat saya dulu SMA, saya selalu mempertanyakan apa yang dilakukan oleh guru saya. Kenapa mereka menyampaikan tanpa pernah bertanya dengan kami apakah kami suka atau tidak. Kami harus mengerjakan semuanya sesuai keinginan guru, dan dengan itu saya sangat frustrasi. Saya merasa terabaikan, persisi dengan yang disampaikan murid saya. Saat ini saya berada di posisi guru, dan saya baru menyadari bahwa seorang guru selalu berada di posisi yang tidak akan tepat.

Seorang guru terikat dengan aturan pendidikan, mata ajar mereka disesuaikan beredar silabus kurikulum yang dibuat pemerintah. Di dalamnya juga di ulang berkali ali kata `harus`, kata ajaib yang memberikan efek fatal dan mematikan kreativitas. Tidak ada keterangan jelas secara teknis bagaimana cara menuntaskan kata `harus` itu, yang ada hanya serentetan kewajiban yang dianggap penting dan harus ditunaikan.

Sebagai tindak antisipasi pencapaian itu, diagendakan sesi supervisi secara berkala. Melihat apakah perangkat pembelajaran, administrasi pembelajaran, dan cara mengajar telah layak membalas kata `harus` itu atau belum. Dampaknya ada pada penilaian subjektif yang dapat berdampak pada penjenjangan seorang guru. Karena faktor silabus ajaib dengan rute materi padat dan buku, serta ancaman supervisi yang sewaktu waktu dapat hadir begitu saja, seorang guru akhirnya berada pada posisi tertekan. Dia tidak akan sempat memperhatikan satu persatu anak, pencapaian mereka terhadap sebuah mata pelajaran, karena beban silabus yang harus tuntas mengharuskannya mengajar dengan cepat.

Menghadapi begitu banyak jenis kecerdasan juga tidak semudah bila kita harus mengajarkan keterampilan. Ada anak dengan cara berpikir cepat yang sanggup menangkap materi ajar dengan cepat sesuai silabus, namun ada juga anak dengan kapasitas lain yang berkemungkinan mengalami kesulitan. Pada pelajaran matematika, anak dengan kecenderungan kecerdasan matematis akan sangat senang, tapi anak kinestesis dan linguistik tidak sama responsnya. Pada pelajaran bahasa, mereka dengan skor kecerdasan linguistik mumpuni, akan menangkap materi ajar dengan sangat cepat, tapi bagi mereka yang matematis dan lainnya, akan kesulitan. Tapi seorang guru dipaksa mengabaikan semua itu, mereka harus mengajar sesuai silabus dengan mengabaikan kombinasi dan dominasi kecerdasan. Mereka hanya harus menyelesaikan silabus, cukup.

Apakah guru tidak cukup perhatian? Saya kembali menghayati pertanyaan itu. Karenamenjawabnya tidak sesederhana susunan kata dalam pertanyaan itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun