Dunia pendidikan layak berduka, untuk kesekian kalinya kematian merenggut nyawa. Indonesia pernah mencatat bahwa ada siswa didik yang menghembuskan nafas terakhirnya setelah dianiaya oleh temannya, seniornya, dan kali ini seorang Guru Kesenian di Kabupaten Sampang meninggal setelah mengalami kekerasan dari seorang siswanya. Walaupun banyak juga Siswa yang mengalami kekerasan dari Gurunya, baik kekerasan fisik, psikis, termasuk kekerasan seksual sebagai suatu praktek kekerasan yang masih terus bercokol bahkan mengakar dalam dunia pendidikan ditanah air.
Kekerasan secara umum dapat dikelompokan kedalam beberapa jenis, diantaranya : Kekerasan Terbuka (overt) sebagai bentuk kekerasan yang dapat dilihat secara nyata seperti perkelahian dan tawuran; Kekerasan Tertutup (covert) ialah bentuk kekerasan yang tidak nampak, semacam perilaku yang mengancam.
Namun demikian, kekerasan tertutup bisa dengan cepat menjadi kekerasan terbuka dalam kasus-kasus tertentu; Kekerasan Menyerang (agresif) yaitu kekerasan yang lebih banyak dipraktekan oleh para pelaku kejahatan / kriminal, misalnya perampokan atau pemerkosaan; Kekerasan Bertahan (devensive) merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan sebagai wujud perlindungan diri; Teror ialah kekerasan yang lebih bermotif intimidasi; Sedangkan Balas Dendam merupakan bentuk kekerasan sebagai tindak pembalasan atas tindakan yang dilakukan oleh individu / kelompok lain yang telah dilakukan sebelumnya; dan kekerasan terakhir adalah Pembunuhan (homocide) sebagai bentuk kekerasan yang secara hukum dapat dikelompokan menjadi kekerasan legal dan illegal. Pembunuhan dapat dibenarkan secara hukum apabila dilakukan sebagai bentuk pembelaan diri.
Dan dapat dikatagorikan sebagai suatu tindak kriminal apabila pembunuhan (murder) tersebut dilakukan dengan maksud buruk yang telah dipikirkan sebelumnya. Sedangkan Pembunuhan Berencana merupakan pembunuhan yang sudah direncanakan sebelumnya dimana ada skenario didalamnya. Berbeda halnya dengan Pembunuhan Tidak Terencana yang merupakan suatu bentuk pembunuhan yang mengakibatkan kematian orang lain karena kelalaian atau tidak disebabkan oleh serangan yang disengaja.
Bentuk-bentuk kekerasan diatas boleh dikatakan telah jamak di praktekan sehari-hari dalam dunia pendidikan di Indonesia, baik oleh siswa kepada siswa lainnya, guru kepada siswa, atau siswa kepada guru. Walaupun demikian, publik masih menganggap bahwa kekerasan dipandang sebagai suatu bentuk kekerasan manakala ia menjadi kekerasan terbuka. Belum banyak yang memahami bahwa ada kekerasan non fisik yang kerapkali terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Yayasan Sejiwa dalam Bullying (2008) membagi jenis-jenis kekerasan menjadi dua katagori yaitu kekerasan fisik dan kekerasan non fisik. Dikatakan kekerasan fisik apabila praktek kekerasan tersebut dapat dilihat oleh siapapun karena timbul kontak fisik antara pelaku dengan korban. Dalam praktek sehari-hari perilaku kekerasan katagori ini semacam memukul, menendang, menampar atau sejenisnya.
Apabila kekerasan fisik dapat, dilihat maka lain halnya dengan kekerasan non fisik yang tidak dapat dilihat atau tidak kasat mata. Kekerasan non fisik ini dibagi menjadi kekerasan verbal dan kekerasan psikologis / psikis. Jenis kekerasan verbal merupakan jenis kekerasan yang dilakukan melalui kata-kata seperti memaki, membentak, menghina, atau kata-kata kasar lainnya. Sedangkan kekerasan psikologis / psikis merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan melalui gesture atau bahasa tubuh yang menimbulkan dampak secara psikologis / psikis, seperti mencibir, mendiamkan, dan sejenisnya.
Kekerasan yang terjadi dalam keluarga dan masyarakat khususnya anak dan anak perempuan ditemukan dalam berbagai bentuk dan sangat beragam, baik dari segi usia maupun lapisan sosial. Demikian pula ruang lingkup dan waktu kejadiannya yang tidak mengenal ruang dan waktu, artinya bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, baik di tempat kerja, di tempat umum seperti di sekolah, terminal, di kendaraan umum, dalam situasi konflik, di tempat penampungan, bahkan di dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung yang paling aman. Pelaku kekerasan pun beragam, mulai dari orang yang tidak dikenal, teman, saudara, guru, siswa, orang tua bahkan aparat dan negara.
Sejumlah kasus perilaku kekerasan dalam dunia pendidikan jika dikonfirmasi dengan hasil pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2012 di 9 propinsi, ternyata ada korelasi antara pandangan, sikap dan prilaku keluarga dan masyarakat dengan budaya yang dianut. Dimana hal tersebut membentuk akar budaya yang kemudian mempengaruhi pemahaman setiap individu sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan dalam membentuk relasi selama berinteraksi dalam lingkungan sosialnya sehari-hari.
Budaya patriarkhi yang berkembang ditengah masyarakat yang kental dengan praktek kekerasan dipandang sebagai salah satu sumber lahirnya berbagai praktek kekerasan. Realitis ini memang tidak bisa dipungkiri, terminologi Jawara di Banten, Cempiang, Jagoan, atau Samseng di kalangan masyarakat tertentu bersinonim dengan Blater di Masyarakat Madura. Blater merupakan segmen masyarakat yang lekat dengan budaya kekerasan itu sendiri.
Kekerasan Dan Budaya Masyarakat