Mohon tunggu...
suhatman pisang
suhatman pisang Mohon Tunggu... Jurnalis - Pernah Menjadi Jurnalis Kompas TV ,SCTV,Indosiar,Skm.Canang Padang

Jurnalis Utama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesan Terakhir Ayah

15 Oktober 2023   07:42 Diperbarui: 15 Oktober 2023   07:51 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesan Terakhir Ayah
By: Suhatman Pisang

      Tengah hari tegak, matahari persis lurus di atas ubun ubun .Aku dan Uda dipanggil Ayah.
      Berdebar, apa gerangan yang akan ayah bicarakan padaku.
     " Irma, ayah memanggil mu " kata adik bungsuku, Ilham.
     Belum lebih satu jam aku sampai di desa Demang, desa kelahiranku. Begitu sampai di desa, aku langsung ke rumah kakak tertuaku Kak Supik. Tidak ke rumah ayah yang hanya berjarak sekitar seratus meter. Mungkin ayah melihat aku datang, atau ada adik adik ku lain ibu yang mengabarkan ke ayah bahwa aku pulang kampung .
    Aku memang pulang kampung dengan tujuan melihat ayah, dua hari lalu Kak Supik mengabarkan ayah sakit .
Karena Sabtu Minggu libur aku mamfaatkan waktu untuk pulang melihat ayah, namun aku pulang dengan Uda, lelaki asal Padang yang sudah dua bulan dekat denganku, maksud aku mengajaknya ke kampung di desa Demang,untuk silaturahmi sekalian aku memperkenalkan Uda dengan keluarga besarku di kampung . Dan yang paling penting aku ingin memperkenalkan Uda kepada ayahku.
    Sejak aku menjanda setahun lalu, aku baru kali ini pulang kampung. Aku sengaja menghindar pulang karena menghindari banyak pertanyaan usil, yang akan menelisik. Maklumlah di kampung, warga nya sangat perhatian kalau tidak bisa dibilang kepo, setiap orang bertemu pasti akan menanyakan kabar lalu ujung -ujungnya akan bertanya " kenapa kamu bercerai Irma ? " malas aku menjelaskan apalagi mengenang masa masa kelam rumah tanggaku ke orang orang kampung .
    Hadirnya Uda, membuat aku berani pulang, apalagi Uda sudah menyampaikan keseriusannya untuk menikahi aku, dan menerima sepaket dengan  anak ku.
    Aku berharap Uda juga akan menyampaikan keseriusannya pada ayah, dan keluarga ku. Atau sekalian Uda meminangku.
   Aku sempat ragu, mengajak Uda ke kampung. Adat kampungku sangat keras,membawa pasangan yang belum sah bisa jadi gunjingan , atau bisa saja di usir orang karena dianggap tak baik. Untuk menjaga pikiran aneh orang kampung, kami pulang satu mobil dengan anak dan sepupuku. Kami juga menjaga jarak kesopanan.
    Aku dan Uda tak boleh dekat dekat atau jalan hanya berdua saja . Kalau ada yang bertanya di jelaskan maksud kami pulang karena dia akan meminang aku.
   Tidak lama kami sampai di rumah ayah, rumah kayu khas  desa Demang, rumah tinggi berlantai dua, bagian bawah terbuat dari bata yang diplester dan bercat putih, di bagian depan tangga menuju lantai dua .
    Seperti rumah umunya di desa Demang, bagian depan lantai bawah biasanya hanya ruang tamu dan sebuah kamar, biasanya penghuni akan tidur di lantai dua.
    Rumah ayah cukup besar ayah biasanya tidur di salah satu kamar di lantai 2, saat kami naik ke lantai 2 ayah duduk di kasur di luar kamar, badan ayah terlihat lemas, nafasnya tersenggal, agak gemetaran.
     Aku menyalami ayah, mencium tangan dan memeluk serta mencium pipi ayah, uda menyalami dan mencium tangan ayah.
    " Kapan kalian sampai " kata Ayah membuka pembicaraan.
    " Sekitar satu jam lalu yah, "
    " Anak anak mana ? "
    " Mereka lagi ganti baju ayah, nanti menyusul ke sini " Kataku
     Ayah diam, beberapa saat. Aku dan Uda saling pandang dalam diam. Ada sekitar 5 menit suasana diam.
    Mak Odi - demikian aku memanggil ibu sambungku datang dari arah dapur memecah kesunyian. " Eh ada tamu, kapan Irma datang ? "
   " Kami sampai sekitar satu jam lalu Mak " Aku dan Uda menyalami Mak Odi, sambil mencium tanganya .
    Mak Odi duduk antara aku dan ayah.
    " Ayah mu sudah kayak gini, apa cerita kalian ne " Mak Odi membuka cerita.
    " In Syaa Allah kalau hubungan kami secepatnya Mak" Jawab Uda.
     " Tidak ada alasan bagi Ayah untuk tidak merestui hubungan kalian, makin cepat makin baik " Ayah menyela pembicaraan.
     " Tidak bagus dilihat orang kampung kalian berjalan tapi belum menikah " tegas ayah
    " Ya Yah, ini Uda datang ke sini juga sekaligus akan bicara dengan ayah "
   " Ya yah " uda bicara
   " Saya sudah bulat niat akan menjadikan Irma sebagai istri Yah, saya mohon restu dan izin ayah, dalam waktu dekat kami akan urus surat surat yang diperlukan "
Kata Uda agak gugup.
     " Ya percepat sajalah, mudahan umur ayah masih dipanjangkan Allah, bisa ayah jadi wali kalian " kata ayah sambil menahan batuknya .
     Aku mendekat ke ayah lalu mengurut bahunya yang tersedak karena batuk.
    Tak banyak bicara ayah lalu merebahkan diri di kasurnya.  
     Kami bicara dengan suara pelan dengan Mak Odi, beliau menceritakan kondisi ayah yang sudah melemah dalam sepekan terakhir. Pekan lalu ayah sempat di rawat di rumah sakit umum daerah selama 3 hari, namun belum sehat benar ayah sudah memaksa pulang.
      Jelang sore kami pamit pulang ke Kota. Meski agak mengkuatirkan kondisi ayah, kami harus pulang dulu karena Uda ada acara mendadak.
    Dalam perjalanan sekitar 30 kilometer dari desa Demang telpon genggam ku berdering dari nomor kakak Supik.
    Telpon aku angkat,
     " Sudah sampai dimana Irma ? "
     " Sekitar desa Baru " jawabku
     " Kalau bisa kamu putar balek ke kampung ,ayah kelihatannya sudah berat " Supik sambil terisak .
    " Da, kita diminta kembali " Kataku pada Uda
    Uda paham maksudku, kami pun memutar mobil kembali ke desa Demang.
    Dadaku berdetak kencang hatiku resah ada rasa yang aneh di hatiku, pikiranku tak karuan. Perjalan kembali terasa lama.
    Terlihat dari kejauhan orang ramai di rumah ayah.
    " Ya Allah...... "
    Begitu mobil parkir aku langsung berlari ke rumah ayah, kakak kakaku sudah duduk di dekat ayah berjejer.
    " Yah... " air mataku mengalir deras.
    Kakak tertua ku tak henti hentinya membacakan Lailahaillah.. sebagai kalimat taklim.
    Mulut ayah bergetar, bergerak lambat, tubuhnya lemah dan dingin.  Tak ada gerak lagi .
    Innalilahiwainnalillahirajiuun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun