Perundungan: Ada Apa dengan Dunia Pendidikan Dewasa Ini?
Cing Ato
#Guru Blogger MadrasahÂ
Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan berbagai berita miris seputar dunia pendidikan kita. Bagaimana tidak miris dalam satu bulan saja berbagai berita bisa kita saksikan di dunia maya. Kini yang sedang viral tentang perundungan yang dilakukan oleh para peserta didik SMP 2 Cimanggu Cilacap Jawa Barat.
Ada seorang peserta didik menjadi korban perundangan. Ia ditampar, dipukul, ditendang, dan diseret oleh beberapa peserta didik, sementara yang lain hanya menyaksikan. Masyarakat pun yang ikut menyaksikan video tersebut geram atas perlakuan mereka terhadap temannya sendiri. Kalaulah tidak cepat aparat keamanan mengamankan pelaku. Kemungkinan akan menjadi bulan-bulanan masyarakat setempat.Â
Baru saja tulisan penulis mau dishare terdapat lagi perundangan yang dilakukan pelajar SMP di daerah yang sama.
Belum lagi kasus tawuran anak sekolah diberbagai wilayah dengan menggunakan berbagai senjata tajam. Dahulu tawuran dilakukan oleh mereka yang bersekolah di sekolah umum. Kini tawuran mulai merebak ke  lembaga pendidikan madrasah.
Ada juga yang lebih para lagi, ada seorang pelajar Aliyah di Demak membacok gurunya dengan parang. Gurunya sedang mengawas pelaksanaan ujian di dalam kelas, tiba-tiba dari arah luar salah satu peserta didik masuk lalu melayangkan parangnya ke arah leher sang guru. Dengan sekejap darahpun membasahi tubuhnya.
Miris saja melihat penomena ini, sebenarnya hal ini bukan barang baru atau kejadian baru. Sudah sejak dahulu istilah tawuran, bullying, perundangan dan semua kejadian yang berkaitan dengan dunia pendidikan, hanya saja tidak terekspos seperti sekarang ini.
Terus apa yang melatarbelakangi munculnya penomena ini? Tentunya banyak beragam pendapat yang bermunculan baik yang bisa dipertanggungjawabkan dan ada juga yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, stigma negatif yang sering menyalahkan. Ada yang mengatakan orang tuanya tidak bisa mendidik anak-anaknya dan ada juga yang mengatakan lembaga pendidikan yang tidak bisa mendidik. Ada juga yang menyalahkan Corona.Â
Sebagai seorang pendidik tidak begitu saja mempercayai stigma-stigma negatif sebelum mencoba mempelajari akar permasalahan.
Kalau kita bicara tentang tanggung jawab pendidikan tidak terlepas dari tiga lingkungan, yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan lembaga pendidikan.Â
Yang menjadi permasalahannya, apakah ketiga lingkungan ini berfungsi dengan baik atau tidak? Apakah ketiga lingkungan ini saling bersinergi dengan baik atau tidak?
Semua berawal dari lingkungan yang paling kecil, yaitu keluarga. Lingkungan ini sebagai pondasi awal pendidikan. Tumbuh berkembangnya seorang anak berawal dari didikan orang tuanya. Maka itu, dalam sebuah maqolah Arab yang artinya kurang lebihnya seperti ini "Ibu merupakan seorang pendidik pertama." Sementara seorang ayah merupakan leader dari sebuah keluarga. Â
Ketika seorang ibu dan ayah tak mampu mendidik anak-anaknya tentang adab-adab dalam Islam, sudah dipastikan anak-anaknya akan bermasalah dikemudian hari. Kini betapa banyak orang tua yang kurang perhatian akan pendidikan agama kepada anak-anaknya, lebih mementingkan ilmu-ilmu keduniawian semata. Pada akhirnya justru menjadi bumerang bagi dirinya disaat tuanya.Â
Kedua, lingkungan masyarakat. Ketika masyarakat acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar atau tidak ada orang yang peduli terhadap keberadaan anak-anak dilingkungan tersebut, sudah dipastikan generasi itu akan lebih cenderung berbuat sesuatu yang melanggar norma-norma baik yang diajar agama. Kualitas pendidikan pun rendah. Maka itu, setidaknya ada orang atau lembaga masyarakat yang memantau keberadaan anak-anak seusia sekolah hingga usia remaja. Begitu juga peran tokoh-tokoh agama dan masyarakat sangat dibutuhkan.Â
Tokoh-tokoh agama jangan hanya pandai berkhotbah di atas-atas mimbar, setidaknya mereka terjun langsung ke masyarakat. Yang datang ke musala, masjid, gereja, wihara, klenteng sudah dipastikan orang -orang baik, sementara yang nongkrong -nongkrong itulah yang perlu dirangkul untuk berkumpul bersama orang-orang baik. Bukankah dakwa itu mengajak bukan nunggu orang datang.
Ketiga, lingkungan pendidikan. Selama ini sekolah/madrasah lebih mengejar prestasi akademik semata, sementara pendidikan keagamaan dan pembentukan karakter kurang mendapatkan perhatian, andaikan ada hanya sekedar ada. Dan juga sering kita dapatkan sekolah atau madrasah lebih memperhatikan para peserta didik yang berprestasi, sementara peserta didik yang bermasalah kurang mendapatkan perhatian. Artinya tidak ada program khusus yang dilakukan Sekolah/madrasah untuk membina mereka. Mereka lebih banyak dihadapkan kepada guru konseling.Â
Jika ketiga lingkungan pendidikan itu saling mendukung dan bersinergi. Setidaknya bisa meminimalisir akan terjadinya perundangan baik di lingkungan masyarakat maupun lingkungan pendidikan.
Cilincing, 29 September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H