Mohon tunggu...
Dwi Fajar Suharjuly
Dwi Fajar Suharjuly Mohon Tunggu... -

Hanya gadis sederhana dengan mimpi-mimpi luar biasanya. Dapat dihubungi di twitter @suharjuly

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hadiah Terindah

4 Desember 2013   19:29 Diperbarui: 13 Juli 2015   21:05 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“yang benar saja. Kau tak pernah melihat wajah Ayahmu?”

begitulah pertanyaan salah seorang sahabatku yang lewat ekspresinya bisa kutebak bahwa dia sedikit tak percaya dengan apa yang kukatakan padanya. Tapi, aku mengatakan hal yang jujur padanya tentang Ayahku. Ya, bahwa aku memang tak pernah melihat wajah Ayahku. Jangankan melihat wajahnya, suaranya pun sampai saat ini belum pernah aku dengar. Tapi, bukan sahabatku jika ia berhenti hanya sampai disitu. Setelah kuyakinkan padanya tentang apa yang kuceritakan padanya, ia mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Ya, ia memang seperti wartawan yang haus akan berita.

“sudah pernah kau tanya pada Ibumu tentang Ayahmu? Lalu apa jawab Ibumu?”

Ya, tentu saja aku pernah menanyakan tentang Ayahku padanya. Tapi jawaban Ibu selalu saja sama. Ibu bilang bahwa Ayahku sedang bekerja di luar negeri, di tempat yang jauh sekali dari kota kami. Itulah sebabnya Ayah belum pernah sempat untuk kembali. Bahkan di hari ulangtahunku pun Ayah tak pernah mengirim beritanya pada kami. Saat kutanya lagi pada Ibu kenapa Ayah tak mengirimkan surat pada kami, Ibu bilang bahwa Ayah sangat sibuk dengan pekerjaannya hingga tak sempat.

“ah, aku yakin Ibumu berbohong.”

Itu juga yang pernah terpikirkan olehku. Tapi, entahlah aku seperti tak kuasa untuk menuduh Ibuku berbohong. Sebab kau tahu bahwa tak ada yang lebih baik dari seorang Ibu di dunia ini. Sudahlah, cukup tentang Ayahku. Toh, mungkin saja besok atau lusa ia akan kembali dan menemuiku.

Aku menjalani hari-hari seperti biasa. Tak ada yang beda sama sekali. Ibu, rumah, sekolah, teman, guru, semuanya sama seperti biasa hingga tak terasa waktu begitu cepat bergulir. Hari ini adalah hari perpisahan sekolahku. Sebentar lagi aku akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Ibu terlihat cantik sekali di hari ini. Ah, tahu saja bahwa aku sangat ingin melihatnya berbahagia di hari ini. Selain Ibu yang spesial di hari ini, aku menemukan satu lagi hadiah paling indah di hari ini. Ya, hadiah yang terlalu lama aku impikan. Ayahku.

Tak hanya melihat dan mendengarnya, hari ini aku bahkan merasakan bagaimana rasanya pelukan seorang Ayah. Hari itu hidupku benar-benar sempurna.

Hari itu, aku juga menjadi tahu bahwa Ibu memang berbohong soal Ayah. Ayah tidak pergi bekerja di luar negeri, Ayah juga tak sempat mengirim surat karna sibuk dengan pekerjaannya, dan kebohongan lainnya yang Ibu katakan padaku. Kejujurannya adalah bahwa Ibu tak ingin menyakitiku dengan kenyataan bahwa Ibu dan Ayah telah lama berpisah. Tapi, aku tak perduli. Yang aku tahu bahwa hari ini aku tetap adalah anak mereka. Tak perduli apa dan bagaimana takdir telah merubah hubungan mereka.

Bukan sahabatku namanya jika tak dengan segera mencari tahu tentangku.

“dia ayahmu? Mirip sekali kau dengannya. Beruntung sekali memiliki orangtua yang masih perduli meski telah lama berpisah.”

Lebih dari itu. Dia bahkan telah menjadi Ayah terbaik di dunia dalam sehari. Ya, dalam sehari pertemuanku dengannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun