Awal mula bertemu dengannya adalah di sebuah pintu gerbang pabrik di kawasan Mukakuning pertengahan bulan Mei 1997. Waktu itu umurku 20 tahun dan ia 19 tahun. Tertawanya yang renyah dan bentuk hidungnya yang indah membuatku selalu ingat namanya. Kesi Vizzianti.
Kami berdua sama-sama bekerja di sebuah perusahaan Jepang yang memproduksi aneka jenis kabel, ia di bagian assy dan aku di bagian wire. Sikapnya yang supel dalam bergaul membuat ia mudah akrab dengan semua teman-temanku. Setiap kali istirahat siang ia dan teman perempuannya berkunjung ke tempat kami di bagian wire untuk sekedar ngobrol dan tertawa bersama.Â
Tak sedikit beberapa temanku sebenarnya juga jatuh hati padanya, mereka mulai mengerahkan segala cara untuk menggoda dan menarik perhatian seorang Kesi. Aku sendiri tak menggubrisnya, selain fokus bekerja, pikiranku waktu itu masih terbuai oleh kampung halamanku yang indah dan sebuah nama indah yang terpaksa ku tinggalkan di sana.
Kepergianku ke Batam sendiri dulu sebenarnya adalah keterpaksaan, karena tidak ada bayangan sedikitpun waktu lulus sekolah STM waktu itu untuk pergi merantau ke sebuah tempat yang sangat jauh dari kampung halamanku yang tenang, kawan --kawanku yang setia dan teman perempuan pertamaku yang baru jadian.
Aku masih ingat ketika subuh menjelang di dalam bus yang mengantarkanku ke Surabaya sebelum bertolak ke Batam, di sepanjang perjalanan itulah air mata ini luruh terus menerus. Aku belum siap berpisah dengan ayahku, Ibuku yang selalu mendukungku dan semua mimpiku di Tulungagung terpaksa ku kubur dalam-dalam. Ayahlah yang memaksaku "mengusirku" pergi meninggalkan semua mimpiku.Â
Ayahlah yang meyakinkanku bahwa sebagai laki-laki anak sulungnya aku pasti bisa dan mampu bersaing di Batam sana. Ayahlah orang pertama yang ku cium tangannya ketika bus yang akan membawaku berpisah telah tiba di seberang jalan.
Selepas pulang makan bakso bersama Widia, aku terkejut semua baju dan celanaku telah di susun rapi oleh ibu di sebuah tas sekolah milikku. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya yang biasanya selalu menasehatiku. Aku hanya bisa pasrah waktu itu. Aku selalu ingin membahagiakan mereka berdua, dan adik-adikku. Aku tahu kondisi perekonomian keluarga waktu itu sedang susah, dagangan tempe ibu sedang sepi dan ayah bekerja serabutan
Widia yang kujelaskan tentang rencanaku hijrah ke Batam esok pagi hanya bisa terpaku diam, ia mengajakku pergi ke sebuah tepi sungai di malam gelap , ia menangis seakan tak ingin melepaskanku. Hembusan angin malam yang menerpa daun-daun bambu di pinggir sungai membuat malam bertambah dingin dan membuat tangisannya semakin kencang. Usiaku Waktu itu 18 tahun dan Widia 17 tahun.
                                                                         ***
Kesi memang perempuan langka, ia tak pernah sedikitpun menunjukkan wajah muram, selalu tertawa dan tersenyum lebar. Aura inilah yang berusaha ia tularkan kepadaku yang selalu diam dan murung. Hingga suatu saat ada kesempatan kami untuk berbicara empat mata sambil bercerita tentang segalanya. Ia orangnya asyik dan terkesan blak blakan, tak ada sesuatupun yang ia berusaha sembunyikan.
Tertawanya renyah dan kuat, ia sangat menyukai kopi, mie instant dan tentu saja Jengkol. Beberapa kali ia menawariku jengkol meski saya tahu ia hanya basa basi