Mohon tunggu...
Suhardi Somomoeljono
Suhardi Somomoeljono Mohon Tunggu... Advokat -

Suhardi Somomoeljono Channel

Selanjutnya

Tutup

Politik

Soal Penyumpahan Advokat di Pengadilan Tinggi Sudah Tepat Dan Konstitusional

1 Oktober 2015   18:42 Diperbarui: 4 September 2018   13:05 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Surat edaran MARI No.73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang penyumpahan advokat sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (UU Advokat N0.18.Tahun 2013). Pasal 32 UU Advokat secara limitatif telah menunjuk 8 (delapan) Organisasi Profesi Advokat. Jika Surat Edaran Mahkamah Agung RI tersebut masih memperbolehkan Peradi dan KAI melakukan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi atas anggotanya, maka sesungguhnya Mahkamah Agung RI telah melakukan terobosan hukum (kebijakan) yang bersifat luar biasa (progresif). 

Seharusnya Peradi dan KAI karena gagal mengawal UU Advokat, idealnya sudah tidak lagi memiliki legal standing, sebagai organisasi  advokat yang sah dan legitimate mengingat keberadaannya yang telah mengklaim sebagai organisasi advokat wadah tunggal (single bar) sudah gagal. 

Dengan adanya pengakuan dari Mahkamah Agung RI Peradi dan KAI masih dapat melakukan penyumpahan advokat, artinya secara de-facto saat ini terdapat 10 (sepuluh ) organisasi profesi advokat yang dapat melaksanakan penyumpahan advokat di Pengadilan Tinggi. 

Tindakan Mahkamah Agung RI perlu dipuji karena apapun alasannya, langkah tersebut benar-benar reformis dan demokratis. 8 (delapan) organisasi profesi advokat yang nyaris tenggelam dengan lahirnya Peradi dan KAI, kini dapat hidup kembali untuk menjalankan kedaulatannya sebagai organisasi yang sah dan legitimate.

Kelahiran Peradi yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat pasti akan runtuh.Saat ini Peradi dan KAI derajatnya sama dengan 8 (delapan ) organisasi advokat, namun demikian jika dalam kenyataannya baik Peradi maupun KAI masih bersengketa ( pecah ), maka harus terlebih dahulu menyelesaikan persoalan internnya. Sebagai solusi hukum kalau misalnya ke-3 (tiga) Peradi dan / atau KAI sudah memiliki badan hukum resmi dari Pemerintah (Menkumham), tentu ketiganya dapat dianggap sah memiliki legal standing, terkecuali jika terjadi perselisian di pengadilan negeri, maka harus menunggu putusan tetap untuk menentukan siapa yang sah atau berhak menyandang nama Peradi atau KAI tersebut. 

Seperti halnya pada saat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terpecah, maka kemudian berubah menjadi PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), sehingga secara hukum kedua-duanya sah memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Demikian juga terhadap Peradi dan KAI serta organisasi Profesi advokat lainnya yang pecah, harus mempertegas eksistensi dirinya sehingga benar-benar memiliki legal standing sebagai  organisasi profesi advokat yang sah. 

Dengan adanya surat edaran dari Mahkamah Agung RI tersebut secara otomatis model multi bar untuk organisasi profesi advokat telah mendapat pengakuan (recognition) dari Mahkamah Agung RI. Lebih tegasnya lagi Surat Edaran Mahkamah Agung RI tersebut sesuai (sejiwa) dengan UU Advokat nomor 18 tahun 2003, Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi "Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan" dan Pasal 30 ayat (2) yang berbunyi "Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat". 

Mengingat para advokat itu sifatnya wajib menjadi anggota dari organisasi profesi advokat, dengan adanya pengakuan dari Mahkamah Agung RI adanya multi bar, hal tersebut akan sangat mempermudah advokat untuk menentukan pilihannya secara demokratis, untuk memilih mana organisasi profesi advokat yang berkwalitas dan sebaliknya yang tidak berkwalitas akan ditinggalkan oleh anggotanya. Para advokat di Indonesia dan seluruh organisasi profesi advokat sebenarnya tidak perlu khawatir, karena tokoh-tokoh advokat yang merancang lahirnya kode etik advokat bersama jauh-jauh sebelumnya sudah mengatur soal wadah para advokat yang bersifat nasional yaitu KKAI (Komite Kerja Advokat Indonesia). Jika Organisasi advokat sudah final menata kembali legal standingnya, untuk selanjutnya tinggal melakukan langkah koordinasi bersama dalam satu wadah KKAI.

KKAI sampai detik ini belum pernah dibubarkan oleh para pendirinya, yaitu 8 (delapan) organisasi advokat yang telah diakui keberadaannya oleh UU advokat no.18.Tahun 2003 pada pasal 32. Ketika Peradi dilahirkan atas inisiasi 8 (delapan) pimpinan organisasi advokat, melalui akta notaris hal tersebut bertentangan dengan UU Advokat, mengingat tidak satu pasalpun dalam UU advokat tersebut yang memerintahkan untuk mendirikan Peradi melalui akta notaris. KKAI tidak pernah menyerahkan kewenangannya kepada Peradi dan sampai saat inipun belum pernah terdapat serah terima (levering) terkait dengan pertanggungjawaban keuangan serta dokumen-dokumen keanggotaan secara nasional. Ketua Mahkamah Agung di era Prof Bagir manan telah mengakui keberadaan KKAI sebagai wadah nasional.

Bahkan untuk yang pertama kalinya sebelum lahirnya UU advokat tahun 2003, Mahkamah Agung RI telah menyerahkan kekuasaannya khusus untuk pelaksanaan ujian advokat kepada KKAI. Setelah Pemerintah / Mahkamah Agung RI mengakui keberadaan KKAI, dengan pertimbangan Kode Etik Advokat sudah menjadi satu, Ujian Advokat sudah diserahkan kepada KKAI, untuk memperkuat keberadaan advokat sebagai penegak hukum, akhirnya KKAI membidani /memfasilitasi lahirnya UU advokat No.18.Tahun 2003. Peranan Adnan Buyung Nasution (“ABN”) almarhum sangat besar dalam kelahiran UU advokat tersebut, mengingat kelahiran KKAI itupun dari awal atas usul dan dorongan ABN yang diikuti dan diamini oleh 8 (delapan) organisasi profesi advokat. Upaya mobilisasi terhadap organisasi advokat lainnya yang dilakukan oleh Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia) dalam era kepemimpinan Soedjono Almarhum dalam rangka lahirnya KKAI sangat besar artinya. Mengingat kewibawaan IKADIN diera itu sungguh-sungguh luar biasa, sehingga organisasi advokat lainnya menjadi segan.Itulah sedikit sejarah (historis) tentang kelahiran KKAI.

Dari perspektif hukum, Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) memiliki kewenangan dalam hubungan kepentingan profesi Advokat dengan lembaga-lembaga Negara dan pemerintah berdasarkan Pasal 22 ayat (3) ketentuan Kode Etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002, dimuat pada pasal 33 UU Advokat nomor 18 tahun 2003.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun