Prolog
Sengketa hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) salah satu persoalan yang paling dominan berpotensi menjadi permasalahan adalah perolehan suara yang diperoleh oleh para kontestan dalam pemilihan umum (Pemilu), baik untuk Pemilihan Kepala Daerah Tingkat Kabupaten, maupun Kepala Daerah Tingkat Propinsi dan juga untuk Pemilu Presiden.
Menurut UU MK yang berwenang untuk menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan suara adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan ("SK").Â
SK KPU itulah yang secara hukum merupakan objek dalam perkara perselisihan pemilihan kepala daerah sebagaimana telah diatur dalam pasal 157 ayat (4) UU No.10/2016 serta pasal 4 huruf a Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 tahun 2017.
Tafsir Hukum Penerapan Ambang Batas Selisih Perolehan Suara
Secara juridis formil dalam suatu pemeriksaan perkara PHP berlaku ketentuan ambang batas 2% sebagaimana telah diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016. Maksud pembuat UU dengan selisih 2% tersebut artinya selisih antara pihak yang menang dan pihak yang kalah dalam PEMILU selisihnya sedikit atau tipis hanya 2%.
Asumsinya atau logika hukumnya terdapat potensi pihak yang kalah tersebut dimungkinkan menang jika tidak ada faktor kecurangan.Atas dasar logika hukum itulah dalam sengketa ambang batas selisih perolehan suara MK berdasarkan bukti-bukti yang memadahi dapat memutuskan untuk memerintahkan KPU untuk dilakukan pemilihan suara ulang ("PSU").
Jika yang terjadi sebaliknya selisih perolehan sangat besar diatas 2% maka secara juridis formal Majelis Hakim MK akan memutuskan perkara tidak dapat diterima dengan alasan gugatan pemohon belum memenuhi sarat formil.Â
Apakah asas tentang ambang batas 2% yang bersifat formalistik tersebut dapat disimpangi atau dikesampingkan oleh HAKIM MK jika bertabrakan dengan nilai-nilai keadilan?
Menjawab pertanyaan  tersebut kita harus mempertimbangkan teorisasi hukum dalam kaitannya dengan keadilan dalam proses penegakan hukum baik berorientasi pada asas-asas hukum maupun pendapat para ahli.
Bagi Satjipto[1] hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan.