Mohon tunggu...
Saverinus Suhardin
Saverinus Suhardin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat penulis

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi “Sejuta Mimpi” (http://saverinussuhardin.blogspot.co.id/). Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos dan Victory News. Buku kumpulan artikel kesehatan pertamanya berjudul “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”, diterbikan oleh Pustaka Saga pada tahun 2018. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi: Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018); Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018); Jangan Jual Intergritasmu (Loka Media, 2019); dan beberapa karya bersama lainnya. Pernah menjadi editor buku Ring of Beauty Nusa Tenggara Timur: Jejak Konservasi di Bumi Flobamorata (Dirjen KSDA, 2021); Konsep Isolasi Sosial dan Aplikasi Terapi : Manual Guide bagi Mahasiswa dan Perawat Klinis (Pusataka Saga, 2021); dan Perilaku Caring Perawat Berbasis Budaya Masyarakat NTT (Pustaka Saga, 2022). Pekerjaan utama saat ini sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT sambil bergiat di beberapa komunitas dan organisasi. Penulis bisa dihubungi via e-mail: saverinussuhardin@gmail atau WA: 085239021436.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tas Sekolah

24 Juni 2015   19:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:26 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tas, benda ang sudah tidak asing lagi bagi semua orang. Apalagi anak sekolah/mahasiswa, sudah berang tentu (pernah) memakai tas.

Tas, wujudnya beraneka ragam, begitu pula bahan pembuatannya. Saat SD, -berdasarkan pengamatan saya- cuma satu atau dua orang saja menggunakan tas hasil yang dibeli di pasar. Selebihnya, banyak yang menggunakan "Mbere" (Khas daerah Flores-Manggarai), tas yang biasa dibuat sendiri, terbuat dari anyaman daun pandan. Atau jika tidak bisa membuat, paling sering menggunakan kantong plastik (kresek) bekas, sebagai pengganti tas. Dari berbagai bentuk dan bahan tas tersebut, fungsinya sama saja, yaitu menyimpan buku, ballpoint, mistar, lidi sebagai alat bantu hitung, bekal, dan sebagainya.

Saat SMP-SMA, saya melihat trend agak berubah. Tidak terlihat lagi ada yang menggunakan kantong plastik (kresek) sebagai tas. Tapi, bukan berarti mereka semua memilih tas buatan industri, malah tidak suka memakai tas sama sekali.

Memang tidak semua siswa seperti itu, tapi lumayan banyak fenomena itu terlihat. Misalnya, saya sendiri dan beberapa teman, lebih memilih kantong/saku baju atau celana seragam sebagai tempat menyelipkan buku. Tidak banyak buku tulis (biasaya tipis-tipis) yang kami bawa, cukup 2 sampai 3 buah, kemudian digulung sedemikian rupa, sehingga bisa muat di saku celana atau baju.

Akibatnya, buku-buku tadi cepat rusak dan kumal. Catatan pelajaran di sekolah terlihat berkerut, tulisannya pudar, dan pada akhirnya susah untuk dibaca kembali. Sudah pasti, hampir tidak ada pelajaran yang terseimpan baik dalam memori.

Ada juga yang lebih sadis lagi. Tidak membawa tas dan buku tulis ke sekolah. Hanya menyiapkan 2-5 lembar kertas yang dilipat kecil-kecil, dimasukan ke saku baju atau celana. Ballpoint diselipkan di saku baju kalau ada, jika tidak, pinjam sana-sini begitu tiba di kelas. Begitu masuk kelas, biasanya kedua tangan dimasukkan ke dalam saku, kepalanya digoyang-goyang mengikuti irama siulan yang keluar dari mulut yang dimonyongkan. Kesannya cerdas. Tapi begitu ditanya sesuatu, bingung dan pusing tujuh keliling untuk memjawabnya. Saat diperbolehkan melihat jawaban di catatan pelajaran sebelumnya, tidak ada arsip yang tersisa. Nol kaboak alias nol besar.

Saat kuliah sudah agak berbeda. Meskipun masih ada beberapa orang yang berkarater seperti yang saya ceritakan di atas. Tapi tidak jamak. Mungkin itu hanya anomali, satu sampai dua orang dari ratusan orang lainnya.

Saat melanjutkan kuliah Pendidikan Ners di FKp Unair pada pertengahan tahun 2013 lalu, saya melihat atau mengalami hal yang berbeda dari pengalaman sebelumnya. Awalnya, saya berencana hanya menggunakan tas samping ukuran kecil saja. Maklum saat itu lagi trend menggunakan tas-tas samping, yang hanya bisa menyimpan gadget, 1-2 buku catatan ukuran kecil, dan charger. Selebihnya, tidak akan muat lagi.

Begitu kuliah hari pertama, saya langsung risih. Teman kelas, kakak tingkat, hampir semua mahasiswa/i yang mondar-mandir, masing-masing menggendong tas ukuran besar. Dari cara mereka jalan, atau cara menggendong tas, bisa dipastikan sangat berat bawaannya.

Saya pun pelan-pelan mengobservasi teman sekelas. Dengan seksama saya perhatikan ketika mereka membuka tas. Terlihat buku-buku pelajaran yang ukurannya tebal, cukup berat kalau ditenteng satu tangan. Bahkan kalau sedang jadwal presentase tugas, tidak hanya tas besar digendong di punggung, kedua tangan juga masing-masing menjinjing tas yang berisi buku. Belum lagi bekal lain seperti botol air ukuran 1 liter, bekal makan siang yang tetata dalam rantang khusus. Sudah pasti sangat berat.

Saya terpengaruh. Tidak mungkin hanya saya yang tidak membawa "bekal" buku sumber yang cukup saat presentase tugas. Saya tidak mau tampil beda, mengerjakan tugas tanpa buku sumber yang jelas. Apa kata dunia ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun