Bermula dari oleh-oleh ikan kering yang dibawa Tanta dari kampung. Setiap kali kami menggoreng, baunya menyebar ke mana-mana terbawa angin. Saya kira, tetangga dengan mudah akan menebak, rumah sebelah sedang makan ikan kering.
Rupanya, seekor anjing juga terpikat. Entah milik siapa. Anjing yang berkaki pendek, bentuk tubuh cukup tambun dengan bulu berwarna putih bercampur cokelat, selalu datang ke tempat kami tinggal.
Tentu saja saya jengkel. Tiap kali datang saya usir. Saya ambil batu, kemudian melemparnya. Anjing pun laring pontang-panting, menjauhi rumah. Tapi, dia tidak jera. Tidak berselang lama, dia muncul lagi. Ekspresi wajahnya, benar-benar menghancurkan prinsip hidup saya yang tidak suka dengan peliharaan berkeliaran sembarangan. Lama-lama saya membiarkan, mungkin dia juga butuh piknik.
Kepala dan tulang ikan kering yang tidak bisa kami habiskan, ditambah dengan nasi dan kuah sayur, menjadi jamuan spesial buatnya. Dia menyantap dengan lahap. Dia mengunyah dengan cepat. Belum sampai 32 kali kunyahan, langsung menelan. Sesekali dia batuk, mungkin tersedak. Saking cepatnya dia makan, makanan mungkin bingung, mana jalan makan dan mana jalan napas.
Begitulah awal mulanya. Semenjak itu, dia selalu berada di sekitar rumah. Tidak ke mana-mana lagi. Saya bertanya dalam benak, anjing ini milik siapa ? Kenapa dia tidak kembali pada tuannya ? Mengapa tuannya tidak mencari ?
Pertanyaan-pertanyaan tadi membuat saya semakin gelisah. Saya membayangkan, sang empunya anjing menganggap saya mencuri kepunyaannya. Bisa saja pemiliknya marah-marah, bawa parang dan golok. Habis sudah saya hanya gara-gara anjing tadi. Ngeri...
Tapi, mau bagaimana lagi. Saya pasrah saja. Nurani ini tidak menolak kehadiran anjing tadi. Tidak ada salahnya untuk merawat sebisanya. Merawat dengan tulus tanpa mengharapkan apa-apa. Tidak pernah berharap suatau saat anjing itu akan dijadikan daging RW. Sure..!!!
Hari demi hari, saya makin senang dengan kelakuannya. Bagaimana tidak, dia selalu mendekati saya dengan ekspresi wajah yang menggemaskan. Saat saya duduk di teras menikmati kopi, dia mendekat duduk berhadapan. Saya menuangkan sedikit kopi di hadapannya, dia langsung mengangkat wajahnya, berdiri lalu menjilat kopi tersebut hingga kering. Kam berdua pun menghabiskan kopi bersama.
Begitu juga saat saya makan keripik singkok atau jagung goreng. Dia selalu datang, duduk berhadap-hadapan. Tiap kali saya memasukan makanan dalam mulut, dia memperhatikan dengan saksama. Bola matanya mengikuti tangan saya yang mengambil makanan, terus memasukan ke dalam mulut. Naik-turun, begitupun arah gerakan bola matanya.
Saya mencoba letakkan potongan keripik dan jagung goreng dihadapannya, dia langsung melahapnya. Padahal, rasanya pedis lho....
Ah, mungkin dia lapar, pikir saya saat itu. Kami pun menghabiskan camilan itu bersama-sama hingga ludes.