Namanya Martinus. Sejak tadi kuperhatikan gerak-geriknya. Tidak seperti biasa, ada yang aneh. Dari balik tirai jendela kamar kost, terus saya perhatikan. Dia berdiri di ujung teras, tangan kanan disandarkan pada tembok dengan kepala sedikit tertunduk. Mungkin sedang memikirkan sesuatu. Tidak lama kemudian, bagaikan setrika, dia mondar-mandir dari satu sudut ke sudut yang lain. Wajahnya tampak cemas, pasti sedang dirundung masalah.
“Apa dia sedang rindu dengan keluarganya di Manggarai-Flores ?” dugaan dalam benak saya seperti itu, apalagi sudah 10 tahun dia merantau, belum pernah pulang. Timbul niat saya untuk menanyakan secara langsung. Biar suasana lebih santai, kubuatkan 2 cangkir teh manis.
Setelah siap, saya membuka pintu kamar. Martinus sedikit kaget dari lamunannya begitu mendengar deritan pintu terbuka. Sambil tersenyum ramah, saya ajak dia masuk.
“Ayo Martinus, mari kita minum teh”.
Dia diam saja. Raut wajahnya tanpa ekspresi. “Ayolah Bro” kali ini lebih keras suaraku, “Mari masuk dulu, kita minum teh”.
“Oh ia, terima kasih Mas” akhirnya dia menyahut, sambil mendekat dia kemudian menimpali, “Kenapa kok repot-repot buatkan minum ?”