Saat mencari ide buat tulisan ini, saya sedang mendengarkan dialog interaktif yang disiarkan oleh Pro 2 RRI Kupang. Tema dialognya sangat aktual dan urgen, mengenai kondisi darurat human trafficking di Nusa Tenggara Timur (NTT). Isu tersebut kemudian dikerucutkan dengan judul yang menarik, yaitu: Stop bajual orang NTT !
Status darurat human trafficking bagi provinsi NTT sudah ditetapkan sejak tahun 2014, namun belum ditangani secara baik[1]. Menteri tenaga kerja (Menaker) -Hanif Dakiri-, pernah menyampaikan total kasus perdagangan orang di NTT hingga akhir Januari 2015, sejumlah 70 ribu kasus dalam setahun[2]. Data terbaru dari Polda NTT, selama tahun 2015 dan 2016 (Januari-Juli), ada 1.667 orang korban yang diberangkatkan ke Malaysia dan Medan[3] Angka yang fantastis tentunya, sehingga pantas disebut kondisi darurat. Karenanya butuh penanganan segera dan tepat sasaran. Bila terlambat dan lengah, akibat fatal tidak bisa terhindarkan.
Betul saja, sementara penanganan status darurat human traffickingbelum menunjukkan hasil yang memuaskan, kita kembali terenyuh dengan munculnya berbagai kasus TKI asal NTT. Kompas.com melaporkan keterangan Tato Tirang, Kepala Balai Pelayanan Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang-NTT, dimana sudah tercatat 23 orang TKI yang pulang dalam kondisi tidak bernyawa dalam kurun waktu Januari hingga akhir Juli 2016[4]. Bahkan, dari sejumlah mayat tersebut, ada beberapa mayat dalam kondisi yang mengenaskan. Sekujur tubuhnya dipenuhi jahitan, ditemukan pula beberapa organ tubuh yang hilang, sehingga diduga adanya indikasi penjualan organ tubuh[5].
Kenapa Human Trafficking Bisa Terjadi ?
Pertanyaan di atas, jawabannya sangat kompleks. Banyak kemungkinan faktor predisposisi dan presipitasi dari masalah tersebut. Saya merangkum beberapa penyataan narasumber maupun pendengar yang berpartisipasi dalam dialog interaktif yang disiarkan RRI Pro-2 Kupang, seperti yang saya singgung pada awal tulisan ini. Human trafficking terjadi akibat berbagai hal, seperti: status pendidikan yang rendah, tidak memiliki keterampilan, lapangan kerja yang terbatas, lahan pertanian yang semakin sempit, kondisi ekonomi yang rendah, lemahnya fungsi pengawasan dan penegakkan hukum dari pemerintah, serta persoalan terkait lainnya. Semua masalah tersebut ibarat benang kusut, sulit diuraikan lagi. Semuanya telah menjadi lingkaran setan yang selalu menggelinding dari waktu ke waktu.
Saya berpendapat, dari semua kemungkinan penyebab di atas, ada baiknya direnungkan kembali, apakah hal yang paling fundamental ? Kalau hanya mengatasi penyebab tersebut, kemungkinan kurang efektif karena belum menyentuh pada hal yang paling mendasar.
Hidup Berencana
Menemukan sebab yang paling fundamental, memang tidaklah mudah. Pendapat setiap orang sangat variatif, apalagi di zaman teknologi informasi secanggih sekarang. Setiap orang dengan mudah mengakses informasi, kemudian menganalisanya hingga membentuk sebuah keyakinan baru. Saya sangat menyadari dan menghormati perbedaan itu. Namun, kita juga perlu membuka diri dengan ide-ide yang sudah bagus dan sebenarnya sudah ada sejak lama, hanya kurang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai orang NTT, saya merasa bersyukur karena perayaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XXIII tahun 2016 diselanggarakan di Kota Kupang. Banyak sekali manfaat yang dirasakan. Satu hal yang paling utama, saya terpapar dengan informasi tentang hidup berencana. Intinya, setiap tahapan hidup kita sebaiknya direncanakan, bukan karena bencana.
Salah satu tahapan kehidupan yang perlu kita rencanakan dengan baik adalah menikah. Nikahlah pada usia yang ideal, yaitu di atas 20 tahun untuk perempuan dan di atas 25 tahun untuk laki-laki. Pada usia tersebut, seseorang lebih siap dan matang secara biologis, psikologis, sosial, spiritual dan kultural.
Pada usia tersebut juga, menurut Havighurst, seseorang akan menjalankan tugas perkembangan seperti: Mulai bekerja, mengembangkan karier; Memilih pasangan hidup; Belajar hidup dengan pasangannya dan mulai membina keluarga; Mengasuh anak dan bertanggung jawab dalam pendidikan anak; Mengelola rumah tangga; Bertanggung jawab secara sosial dan sebagai warga negara; Mencari kelompok sosial yang menyenangkan; Menyesuaikan diri dengan usia yang lebih tua; Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam pekerjaan; dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis[6].